Jakarta-Pemerintah terus mengkaji penerapan pajak tanah menganggur sebagai bagian paket kebijakan ekonomi berkeadilan sesuai amanat Presiden Jokowi untuk memeratakan pembangunan ekonomi. Wamenkeu Mardiasmo mengatakan, pemerintah hati2 menetapkan kriteria tanah menganggur yang akan dipajaki.
Pajak progresif ditujukan seoptimal mungkin ke spekulan tanah. “Kita nanti ada threshold (batas) tanah yang tidak dikenai pajak. Misalnya, mereka2 yang punya tanah untuk rumah pribadi berapa meter tidak dikenakan pajak. Tapi yang ratusan hektare dikasih pajak,” kata dia di Jakarta (6/4/2017).
Ada tiga opsi yang digunakan skema pajak tanah. Pertama, pajak progresif atas kepemilikan akibat penguasaan lahan yang timpang karena dikuasai sekelompok orang atau korporasi.
Kedua, pajak tanah menganggur atau unitilized asset tax (UAT) akibat banyak pengembang dan spekulan yang menjadikan tanah sebagai landbanking dan mencari keuntungan atas selisih harga jual dan harga beli. “Terakhir, capital gain tax,” ucapnya.
Selain UAT, skema pajak tersebut bisa dipertajam atas pajak tanah yang ada sebelumnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas kepemilikan lahan dan pajak penghasilan (PPh) Final atas Pengalihan Aset dan Bangunan sebesar 2,5%, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Namun, hingga kini pemerintah belum tentukan skema pajak yang diambil. “Kita lihat dulu skemanya. Seberapa mewah tanahnya, di kawasan pertanian atau industri,” tambah Mardiasmo. Pihaknya paham Presiden ingin kebijakan ini bisa segera dikeluarkan. Dia menilai perlu kajian mendalam agar kebijakan ini bisa tepat sasaran.
“Kita harus buat hitungan yang baik sehingga pajak ini nantinya bisa membatasi gerak para spekulan tanah,” imbuh dia. (dmd,izz; Rahmat Fiansyah; https://ekbis.sindonews.com/read/1194886/33/kriteria-tanah-menganggur-yang-dikenai-pajak-dipertajam-1491481522)-FatchurR