7Gerai Sevel di Blok M itu ditutup. Bekas bangunan tokonya jadi kumuh dan tenggelam dalam kesunyian pedih. Modern Group induk 7-Eleven Indonesia merugi signifikan, hingga 400-an milyar. Gerai Sevel dulu marak di-mana2 itu satu demi satu tumbang bangkrut dan duka amat masif. What went wrong?
Saya dulu termasuk pelanggan Sevel. Jika ada janjian konsultasi dengan klien, saya berangkat dari rumah di Bekasi jam 5 pagi. Saya selalu milih rehat sarapan pagi di Sevel yang lokasinya terdekat dengan kantor klien; dengan menu breakfast yang lumayan premium (mahal maksudnya).
Saya mungkin dulu tipe pelanggan ideal yang diimpikan Sevel. Namun kemungkinan tak banyak pembeli seperti saya. Yang lebih banyak anak2 muda beli minuman alakadarnya (murah maksudnya) dan lalu nongkrong ber-jam2 di kafe Sevel.
Akibatnya fatal : Pemasukan sedikit, investasi tempat dan bahan menyiapkan makanan premium telanjur mahal. Cost besar, pemasukan sedikit. Ujungnya kolaps. Sevel mungkin contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Ndak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa.
Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, tapi telanjur terkesan premium produknya – karena harus sewa lahan di lokasi strategis yang mahal. Untuk menyiapkan menu makanan seperti yang disediakan Sevel (spaghetti, nasi goreng instan, salad) itu mahal ongkosnya. Yang pahit : jika tidak laku harus dibuang. Jadi waste-nya amat mahal.
Celakanya, menu varian makanan premium yang bahan bakunya mahal dan harus dibuang jika tidak laku itu; tidak banyak yang beli. Kebanyakan pembeli Sevel ya itu tadi : anak2 muda yang cuma beli makanan murah lalu nongkrong ber-jam2.
Kisah jatuhnya Sevel memberi pelajaran : inovasi itu penting. Jika inovasinya salah sasaran, bisa jadi bumerang high-cost. Pilihan strategi produk yang tidak pas membuat bisnis terjungkal penuh luka. Yang muram : rencana akuisisi Sevel oleh grup Charoen Pokphand batal karena ketidaksepakatan bisnis. Pemilik Sevel pusat di luar negeri tak setuju rencana bisnis yang diajukan Pokphand. So what’s next?
Solusinya mungkin Sevel harus back to basic (fokus jualan fast moving consumer goods, tanpa harus ribet jualan aneka minuman, kopi dan makanan mirip kafe). Lalu fokus jualan di lokasi elit dan lingkungan perumahan dan kantor yang premium. Tutup lokasi lain yang tidak menghasilkan.
Contoh yang sukses “ Circle-K di Bali. Anda lihat di Bali, Circle-K sukses karena dia fokus jualan consumer goods premium, dan di lokasi yang premium (dekat dengan destinasi turis2 asing). Jika SEVEL jatuh karena pilihan “product strategy” keliru, maka bagaimana dengan kisah menurunnya pamor Kaskus?
Kaskus, kita tahu pernah jadi satu kanal internet terpopuler. Namun kini, mungkin kian ter-mehek2. Sejumlah survei menunjukkan, trafik Kaskus makin menurun dan makin ditinggal usernya. Pada sisi lain, Forum Jual Beli (FJB) yang dulu merupakan salah satu ikon Kaskus kini kian tidak relevan (digilas oleh marketplace seperti OLX, Tokopedia dan Bukalapak).
FJB Kaskus terlambat ber-inovasi, dan terkesiap saat lihat Tokopedia dan kawan2 melesat cepat. Sejatinya, Kaskus layak diharapkan bertransformasi jadi Facebook rasa lokal atau WhatsApp rasa lokal. Dengan basis user masif, Kaskus dulu punya segalanya untuk menjelma jadi Raksasa Soosmed Indonesia.
Sayang mereka kurang inovatif, sehingga kian tenggelam dilibas FB, Line, Instagram dan WA (yang semua produk asing). Kaskus mungkin kembali jadi korban Innovator’s Dilemma : terlalu cintai produk sendiri (forum diskusi); dan asyik dengan produk ini, hingga kurang sensitif dengan perubahan.
Innovator’s Dilemma acap membuat korban jadi rabun : alias buta dengan aneka perubahan di sekelilingnya, dan lambat bergerak saat dinamika eksternal berubah. Nokia, Yahoo, dan Blackberry deretan korban innovator’s dilemma dilibas disruptive change yang terjadi. Kaskus contoh korban terbaru dari fenomena kelam ini.
Tren penurunan trafik Kaskus ini mesti diantisipasi dengan sejumlah langkah terobosan. Sebab jika tidak, lama2 Kaskus bisa mati seperti Friendster. Atau makin tidak relevan. Ada 2 pelajaran bisnis ringkas yang layak dikenang dari kasus jatuhnya SEVEL dan tren penurunan kinerja Kaskus.
Pelajaran Bisnis # 1 : High Cost Innovation will Kill You
Inovasi adalah KOENI. Jika proses ini dilakukan dengan memakan biaya terlalu tinggi (high cost dan tidak efisien), maka pelan2 akan membuat cash perusahaan jadi berdarah-darah. Jika proses inovasi yang mahal laku dijual untuk sekelompok kecil pelanggan; dan tidak terjual masif ke semua segmen. Alhasil, inovasi mahal ini berakhir dalam kenestapaan sia2.
Pelajaran Bisnis # 2 : Too Much Love will Kill You
Terlalu cinta produk unggulan yang mungkin saat itu berjaya, acap membuat bisnis jadi rabun dan tidak peka perubahan eksternal. Terlalu asyik produk unggulan sendiri acap membuat bisnis luput menangkap distruptive innovation yang mendadak menyergap. Saat sadar, biasanya terlambat. Penyesalan selalu datang saat duka perih datang menjemput.
Sebuah bisnis harus rela creative destruction. Atau sengaja membunuh produknya sendiri, sebelum para rival melibasnya tanpa kenal ampun. Product life cycle makin pendek. Sebelum siklus penurunan datang, sebuah bisnis harus sudah siap dengan produk baru yang lebih relevan dengan semangat zaman.
DEMIKIANLAH sekelumit kejatuhan Sevel dan Kaskus, dua produk bisnis yang pada masanya pernah jadi legenda. Apakah mereka bisa kembali bangkit, dan menciptakan sejarah baru? Hanya putaran waktu yang akan menjawabnya. (Prasetya B Utama;; dari grup WA-VN; sumber dari Yodhia Antariksa; http://strategimanajemen.net/2017/06/19/pelajaran-bisnis-dari-kisah-kejatuhan-sevel-dan-kaskus/)-FR