Berita detikInet 26/7/17 “Menghalau Sinyal Malaysia di Beranda Terdepan” karuan membuat saya gembira alang kepalang. Apalagi seketika saya mampu menghidupkan ingatan 24 th ke belakang; saat Telkom mengoperasikan sistem telepon bergerak seluler (analog) berpola bagi hasil dengan investor
Di lobby hotel di Batam Center, saya hanya bisa menggigit jari tangan kiri melihat orang2 Singapura menenteng ponselnya, sementara tangan kanan saya mengepal dan serenta meninju sandaran kursi yang saya duduki.
“Ada apa, pak?” tanya Bambang Sumadi ex PT Inti, terkaget. “Lihatlah mereka itu, petantang-petenteng bawa ponselnya dan dan berhalo-halo ke negaranya dengan pulsa lokal dan kita gak dapat apa2” jawab saya mangkel. Kegeraman itu menginspirasi saya, teman2 Telkom dan PT Inti secepatnya mengudarakan GSM Telkomsel di Batam menghadang sinyal seluler Singapura yang menginvasi daratan P. Batam.
Kerja keras dan mati2an Tim GSM Telkomsel 24 jam sehari, 7 hari seminggu selama 50 hari, akhirnya berhasil men-jamming (melumpuhkan) sinyal Singapura di Batam dan Bintan. Dan terhitung 31/12/93, turis Singapura yang datang ke Pulau Batam untuk merayakan tahun baru 1994 gantian harus gigit jari, karena HPnya tidak lagi bisa menerima sinyal spleteran dari negerinya.
Itu dulu. Sekarang gimana? Itulah ironis dan anomali kehidupan. Singapura Telecom sejak April-2002 mengangkangi saham Telkomsel ex PTT Belanda 22,28% ditambah dilusi dari Telkom 12,72%, jadi total 35%. Terus terang, jumlah saham segini tidak main2 lho. Gak boleh kita katakan posisi “masih aman” dengan tetap meniliki mayoritas saham 65%, apalagi senang dengan predikat di atas 50%.
Herannya, banyak ex pejabat Telkom yang dulu memproses transaksi ini seperti gak ngeh, porsi ini lebih dari 1/3 hak kepemilikan. Telkomsel ada di Nusantara Indonesia, pelanggannya orang Indonesia dan populasi Indonesia 50x Singapura. Tengok distribusi komposisi devidennya: Singtel 35% dan Telkom 65% (disetor ke Pemerintah ± 33% dan sisanya 32% untuk Telkom). Jadi, siapa yang paling berjaya?
Bayangkan, presidential treshold pada RUU Pemilu 20% saja hebohnya setengah urip, lha kok fasilitas komunikasi publik penting 35% dikuasai asing kita tenang2. Tuh lihat TNI sekuat daya terus memperkuat alutsista dan pasukan di perbatasan, karena sejengkalpun tanah air kita pantang diganggu musuh asing.
Telkomsel statusnya “hanya sekedar” anak perusahaan BUMN, tapi nilai strategisnya tidak di bawah atau bahkan lebih nyata dibanding sebahagian BUMN. Tidak salah pula, bila 7 tahun yang lalu, pernah ada pemikiran selintas bahwa Telkomsel layak diBUMNkan.
Saya berani bertaruh dalam blantika usaha jasa di Indonesia, Telkomsel itu perusahaan yangterbanyak memiliki pelanggan; penyebaran pelanggannya paling luas dan eksistensinya paling menempel seharian di genggaman pelanggannya.
Saya pun tidak bosan mengatakan bahwa kapitalisasi Telkomsel sekarang sekitar USD 24 Milyar. Bila dulu mereka beli 12,72% dari Telkom USD429 Juta, artinya doi sudah dapat gain kapital sebesar 6-7 kali lipat dari harga belinya pada 15 tahun silam. Runyam ‘kan?
Kekeliruan besar Manajemen saat itu adalah tidak (atau belum?) mampu membaca perspektif masa depan bisnis seluler, sehingga tidak mengambil 22,28% saham yang ditinggalkan PTT Belanda; dan malahan ringan saja melepas ekstra 12,72% saham Telkom kepada Singtel.
Dua minggu lalu Menteri Arief Yahya bicara lantang bahwa sesungguhnya prospektif lebih menentukan ketimbang performansi. Itu bener 100 persen, dan case Telkomsel itulah contohnya. Camkan dan ingat itu baik-baik!
Kita kecele bolong bila bermimpi ada operator selain Telkomsel yang mau membangun BTS di beranda terdepan tanah air. Boro2 memasang BTS di perbatasan, mampir ke IBT pun banyak alasan. Karenanya pantas bila Pemerintah memprioritaskan tambahan spektrum frekuensi 2,1 GHz dan 2,3GHz kepada Telkomsel, bukan ke yang lain. Dari pada mubazir dan minim manfaat?
UU Pemilu sebentar lagi diundangkan dan tahun depan Indonesia mulai dihangatkan suasana pra-kampanye Pilpres. Pak Jokowi kelak harus ber-siap2 ditagih janji kampanyenya tentang buyback Indosat. Mudah saja jawabnya Pak, “Ngapain buyback Indosat, mendingan kita beli balik Telkomsel.”
Memang akan alot, tapi kalau gak bisa seluruhnya, ya paling tidak yang 12, 72% itu dululah. Kalau Freeport di Timika yang punya super power AS bisa ditaklukkan, masa yang ini gak bisa sih?
Kita bukan anti investor asing, orang asing atau aseng. Investor tetap diperlukan, tapi itu hanya bila kita kekurangan modal dan skill. Sebaliknya, Telkom Group kondisinya mantap abis, SDMnya oke punya dan likuiditasnya jangan diragukan lagi. Yakinlah itu.
Akhirnya, apresiasi dan bangga pada Telkomsel yang sejak kelahirannya gagah perkasa menghalau sinyal asing di beranda terdepan Indonesia; tapi jangan lalai Bung, beranda di dalam halaman wajib kita bersihkan bersama. Are you ready?!
Saya orang Indonesia.; Saya pakai Telkomsel. Salam Indonesia (garuda sugardo, mantan teknisi penghalau sinyal Singapura di Batam 1993)-FR