Peperangan para kurawa dengan para cantrik itu sengit, namun makin tidak seimbang. Para cantrik mulai frutasi menghadapi lawan yang lebih unggul. Rasa tanggung jawabnya mengawal Dewi Pergiwa dan Dewi Pergiwati untuk menemui ayahandanya membuat semangatnya bangkit dan makin membara.
Mereka membayangkan apa jadinya kalau kedua putri itu dibawa orang2 kasar yang mengaku dari Hastina Pura itu. Hal itu yang membuat mereka tiba-tiba seperti memperoleh semangat baru, angin baru, angin segar, angin kedua atau bahasa Inggrisnya “second wind”.
Para Kurawa kaget, ketika tiba2 cantrik2 mengamuk seperti banteng terluka. Kenekatannya justru membahayakan Kurawa. Maka mau tak mau Kurawa mengerahkan segenap tenaganya. Mereka tidak mau kalah melawan cantrik. Rasa malu kalah itu yang menyulut semangatnya, maka mereka bertempur serius, bahkan cenderung kasar. Maka kini keseimbangan terjadi lagi.
Kematangan Kurawa di medan pertempuran membantu, pengalaman medan tempur mereka juga kaya. Maka kini lagi2, cantrik itu mulai terdesak. Ketika cantrik kewalahan, di saat itu Kurawa gembira. Mereka jelas lebih unggul. Maka mereka ingin menyudahi pertempuran itu. Tak segan2 mereka gunakan senjata tajam. Kini para cantrik kembali makin terdesak, nyaris tanpa harapan.
Namun kembali terjadi keanehan, tiba2 cantrik itu bertempur dengan kecepatan makin tinggi, mereka bisa berkelebat cepat. Para Kurawa keheranan dengan keadaan itu. “Gila!”, seseroang diantara para Kurawa berteriak.
Para cantrik tidak bisa dipandang remeh. Ketika gerakan cantrik makin cepat, Kurawa kewalahan. Senjata tajam yang mereka gunakan satu persatu lepas dan terpental dari tangannya. Kini situasi terbalik, para kurawa mulai terdesak. Mereka menyadari tidak bisa mengalahkan para cantrik itu.
Walau mengerahkan segenap kekuatan dan kematangan dalam bertempur di meda laga. Kini kepala, dada dan perut mereka ber-kali2 terkena tinju atau tendangan keras. Maka mereka memutuskan untuk menyudahi pertempuran dan lari menyelamatkan diri, daripada babak belur.
“ Mundur !”, teriak Patih Sengkuni.
Maka tanpa aba2 2x, mereka mundur, lari tunggang langgang menjauhi arena pertempuran. Mereka dilanda penasaran, kok tiba2 para cantrik yang lelah dan putus asa tiba2 jadi garang dan bergerak cepat, bahkan wajah mereka tidak bisa dilihat jelas, saking cepatnya mereka berkelebat.
Ketika diantara mereka ada yang menoleh dan melihat yang terjadi, menuruti rasa penasarannya, segera batu sekepalan melayang keras mengenai badannya. Maka kini mereka melarikan diri secepatnya dan tidak berani menoleh atau berhenti lagi. Mereka jadi makin jauh dan tidak tahu persis apa yang terjadi di arena pertempuran itu.
Para cantrik kebingungan, mengapa diantara mereka ada yang bisa bertempur bergerak cepat, dengan pukulan dan tendangan keras, sehingga ber-kali2 terdengar erangan dari Kurawa. Adakah yang punya ilmu siluman? Kalau ya, siapa dia orangnya? Pikiran itu bergejolak selagi mereka bertempur menghadapi para Kurawa tadi. Namun mereka senang juga sebab bisa mengungguli para Kurawa.
Ketika pertempuran berhenti dan Kurawa tidak kelihatan, mereka menyadari ada orang baru diantara mereka, orang yang benar2 baru dan belum pernah dilihat sebelumnya, orang yang baru dikenalnya sekarang. “ Oh benar dugaanku. Ada yang membatu melawan para Kurawa tadi”, kata seorang cantrik.
“ Pantesan kita jadi menang”. Sambung yang lain sambil senyum dan tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Air matanya menetes, air mata bahagia. Sepontan dia berlutut dan memberi hormat kepada tamu tak diundang itu. Cantrik lain menyusul berlutut dan memberi hormat tanpa dikomando.
” Kami semua mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda Raden”, kata seorang cantrik.
” Tanpa pertolongan anda, kami tidak tahu nasib kami”, kata yang lain.
“ Siapakah anda Raden?”, tanya cantrik. Dia memandangi tamu tak diundang yang menolong mereka itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tamu itu seorang pemuda gagah perkasa.
“ Perkenalkan, saya Gatutkaca, putra panenggak pandawa, Bima”, kata Gatutkaca putra dari Bima.
Dewi Pergiwa dan Dewi Pergiwati yang dengar kata pandawa keluar dari persembunyiannya di balik pohon besar, mendekat ke cantrik dan Gatutkaca. Mereka pernah dengar cerita ayahnya dengan empat saudaranya itu yang disebut Pandawa, berarti Gatutkaca masih saudaranya. Sepupunya.
“ Dewi Pergiwa dan Dewi Pergiwati, yang menolong kita adalah Raden Gatutkaca, putra uwamu Bima, berarti kakak sepupumu”, kata cantrik kepada Dewi Pergiwa ketika mendekat. “ Hayo berterima kasih ke kakak sepupumu”, sambungnya.
“ Iya. Kakang Gatutkaca, terima kasih telah menolong kami. Salam hormatku untuk Kakang Gatutkaca. Oh ya, namaku Pergiwa, putra ramanda Arjuna”, kata Pergiwa. Matanya berbinar, pertanda gembira telah dapat pertolongan dari saudara sepupunya. Gatutkaca tak berkedip memandang Dewi Pergiwa.
Kata2 yang diucapkan diperhatikan satu persatu, kata demi kata, seakan tak ingin ada yang terlewat, seakan ingin dihafalnya. Dewi Pergiwa malu, berkata sambil menunduk. Ketika mukanya mendongak dan mata bertemu mata Gatutkaca, dadanya berdesir. Ada yang aneh, tanpa disadarinya. Gatutkcaca merasa hal yang sama. Itulah yang dikatakan pujangga sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama.
“ Aku Pergiwati. Saya juga berterima kasih ke Kakang yang menolong kami”, kata Dewi Pergiwati.
“ Ya ya, sudah kewajibanku menolong kalian semua. Apalagi kalian saudara sendiri”, kata Gatutkaca.
Mereka terlibat pembicaraan hangat. “ Oh ya Raden, tadi kok tiba2 menolong kami?”, tanya cantrik.
“ Tadi saya sedang tiduran di atas awan yang terbawa angin”, kata Gatutkaca. Gatutkaca kesaktiannya bisa terbang tanpa sayap dan bisa tidur di awan tinggi, istilahnya tidur di “mega malang” atau di awan melintang.
“Tiba2 saya lihat ada suara ribut2 di bawah dan kalian bertempur dengan para Kurawa. Saya amati terus. Saya ingin membantu, tapi tidak ingin ketahuan Kurawa, saya fikir cara yang tepat menolong kalian. Makanya saya membaurkan diri. Saya minta maaf, terlambat datang dan menolong kalian, sehingga ada yang terlanjur terbunuh oleh Kurawa”, kata Gatutkaca.
” Siapakah dia?”, tanya Gatutkaca.
” Dia ketua kami, Cantrik Janaloka”, jawab seorang cantrik.
Mereka merawat dan mengubur jasad Cantrik Janalaoka yang telah tak bernyawa di hutan itu. Selajutnya mereka berangkat berjalan bersama menuju Kesatrian Madukara, tempat tinggal Arjuna.
Di sepanjang perjalanan itu Gatutkaca banyak berbicara dengan Dewi Pergiwa. Para cantrik sengaja memberi kesempatan ke mereka saling mengenal dan dekat satu dengan lainnya. Para cantrik berjalan dengan Dewi Pergiwati beberapa langkah di belakang Gatutkaca dan Dewi Pergiwa.
Perjalanan ke Madukara jadi menyenangkan, terutama bagi Dewi Pergiwa dan Gatutkaca. Tak terasa, hatinya bertaut. Benih2 cinta telah mulai tumbuh dan merebak di hati mereka. Bersambung Jum’at depan……; (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR