Waktu berjalan maju. Mentari menengok bumi setiap hari, dan bulan menemani insan di malam merajut impian. Alkisah waktu itu di Kerajaan Wirata dilangsungkan perkawinan Abimayu putra Arjuna dengan Dewi Utari putri raja Wirata, Prabu Matswapati.
Perkawinan itu tidak besar2an. Dewi Siti Sendari, istri Abimanyu yang putri Kresna, tidak diberi tahu. Padahal Kresna adalah raja Kerajaan Dwarawati dan penasehat para pandawa. Perkawinan Abimanyu (Angkawijaya) dan Dewi Utari itu kemauan Prabu Matswapati, ayah Dewi Utari didukung Kresna. Mengapa Kresna mendukungnya, padahal dia ayah Siti Sendari yang istri Abimanyu itu?
Rupanya Kresna menilai, Siti Sendari tak bisa memberi keturunan. Dewi Utari wanita kesayangan dewa, sejak kecil telah memperoleh wahyu Hidayat, sedang Abimanyu juga memperoleh Wahyu Cakraningrat, maka adanya dua wahyu itu, keturunan mereka akan melahirkan raja2 besar kelak.
Gatutkaca dan Abimanyu punya hubungan dekat-erat. Gatutkaca yang lebih perkasa, bisa terbang, tergerak melindungi Abimanyu yang kurang perkasa dan kurang sakti. Maka, sejak kanak2, Gatutkaca berteman dan melindungi Abimanyu sepupunya itu. Tak heran perkawinan Abimanyu ini Gatutkaca juga hadir dan ajak Kalabendana pamannya, adik bungsu Arimbi, ibunya.
Gatutkaca dan Kalabendana pengawal Abimanyu, datang beberapa hari jelang perkawinan. Ini karena banyak acara sebelum perkawinan : ‘Midodareni’ (malam bidadari), siraman, dll. Setelah acara puncak, resepsi selesai, tamu2 pulang. Gatutkaca dan Kalabendana tinggal di Wirata menemani Abimanyu, siapa tahu masih perlu tenaganya.
Karena Abimanyu-Dewi Utari belum kenal dengan dekat, sebab dijodohkan, mereka sering memanggil dengan kikuk dan salah. ” Cucuku Abimanyu, eh Cucunda, eh Kangmas Abimanyu”, begitu Dewi Utari sering salah menyebut Abimanyu dengan cucu.
” Eyang Utari, eh … Dinda Utari”, begitu Abimanyu juga salah sebut.
Dewi Utari terhitung nenek atau eyang Abimanyu. Tapi jika jadi suami istri, seharusnya menggunakan posisi kini, sebagai suami istri, jadi penyebutannya Kanda dan Dinda, tidak boleh lagi Eyang dan Cucu. Begitulah karena baru kenal, sering salah. Tapi ini sering membuat mereka tertawa. Hal yang justru menambah kemesraan sebagai pengantin baru.
Itu bumbu2 cinta yang menggairahkan suasana. Mentertawai pihak lain dengan sepontan membuat wajah nampak menawan. Senyum malu karena sebutan keliru, membuat pipi merekah merah karena aliran darah, rona yang menambah gairah.
Di sudut lain Kerajaan Wirata, Raja Prabu Matswapati berdiri, mematung. Pandangannya lurus ke depan, ke arah taman, lalu menjamah hutan, menyusuri relung2 gunung. Lantas melurus, seakan menembus gunung. Seakan ingin tahu yang ada di baliknya. Serasa ingin membuka lembaran2 kisah lama, kisah hidup yang membuat hatinya berdegub. Lembaran cerita yang menurutnya membuat orang menderita.
Lembaran cerita yang menyebabkan Prabu mencintai pandawa, sampai2 Hutan Wanamarta di serahkan ke pandawa, setelah tahu ketika negara Hastinapura dibagi 2 oleh Resi Bisma. Pandawa kebagian tanah kering-gersang, penuh batu dan airnya kurang.
Prabu merasa salah dan berhutang budi ke pandawa, itulah mengapa Dwi Utari dia minta dinikahi Arjuna. Dia dan anak2nya bersumpah setia berada di pihak pandawa jika terjadi perang besar sesuai ramalan. Perang Baratayuda.
Air matanya menitik, diiringi suasana hujan rintik. Ingatannya melambung ke masa lalu. Masa kelam kelabu selalu menghantui kalbu. Sekian tahun berlalu tersebutlah negara Wirata. Negara besar yang berpengaruh. Negara yang para raja, para pendirinya keturunan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma. Demikian menurut para dalang dalam pagelaran wayang.
Batara Wisnu punya istri Dewi Sri Sekar dan berputera Bambang Srigati dan Bambang Srinada. Bambang Srinada, jadi raja pertama di Wirata, bergelar Prabu Basurata. Prabu Basurata beristri Dewi Bremaniyuta, puteri Batara Brahma. Putera mereka Basupati dan Dewi Bramanayeki.
Dewi Bramanayeki menikah dengan Bambang Parikenan menurunkan Bambang Sekutrem. Bambang Sekutrem ini kakek dari Palasara. Palasara itu kakek buyut pandawa dan kurawa. Raja2 Wirata susah diingat karena semua ber-awalan Basu. Maka supaya tidak bikin pening kepala untuk mengingatnya, kita ke raja ke enam, Prabu Basukethi.
Prabu Basukethi beristri Dewi Yuki, saudara sepupunya. Puteranya 2 : Dewi Durgandini dan Durgandana. Ada yang mengatakan kembar “dampit”, kembar pria-wanita. Nasib manusia tidak bisa diterka. Susah senang kadang jadi cerita panjang. Jadi warisan untuk anak keturunan, juga Durgandana-Durgandini.
Dewi Durgandini sejak kecil berpenyakit kulit, kudisan parah, sekujur badannya bernanah dan berbau. Prabu Basukethi malu. Maka Dewi Durgandini dititipkan ke tukang satang, yang menyeberangkan orang di sungai besar dengan rakit bamboo/perahu. Tukang satang itu Dasabala. Mengapa dititipkan ke tukang satang? Karena tukang ini tinggal di tepi sungai jauh dari kampung, jauh dari kerajaan.
Sebab kalau di kampung, Dewi Durgandini bisa jadi diusir orang kampung, sebab badannya berbau. Anyir. Yang lebih membuat sakit hati Durgandini, saudara mudanya, Durgandana, di-elus2 sebagai calon pengganti raja Wirata. Sungguh tidak adil.
Durgandana sejak kecil disiapkan mengganti ayahnya. Maka, Durgandana diajari ilmu kanuragan, ilmu pemerintahan dan ilmu2 bekal jika jadi raja. Selain disingkirkan dari kerajaan, Dewi Durgandini ini dijuluki Rara Amis, gadis berbau ‘amis’ (anyir). Sebutan yang menyesakkan.
Dasabala-istrinya yang miskin merawat dan menyayangi Dewi Durgandini penuh kesabaran, memperlakukan seperti anak sendiri. Karena Dasabala miskin, maka kadang Durgandini kecil diajak dan diajari mendayung satang.
Kini Dasabala tua dan tak kuat mendayung perahu, maka Dewi Durgandini terpaksa menggantikannya sebagai tukang satang. Dewi Durgandini sendirian mendayung satang seberangkan orang. Pelanggannya sedikit, sebab mereka tidak tahan dengan baunya, sekalipun kasihan juga.
Dewi Durgandini bersumpah jika ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya, kalau wanita dianggap saudara kandungnya dan jika laki2 dia bersedia berbakti padanya, menjadi istrinya. Di tempat berbeda, seorang pemuda senang bertapa dan ber-cita2 sebagai pertapa, jadi begawan, menolong sesama. Pemuda itu Palasara. Sebagai pertapa, kelak ketika dewasa dan tua, dia juga disebut Begawan Palasara.
Pada suatu waktu dia bertapa dengan duduk berdiam diri sangat lama di dalam hutan. Saking lamanya bertapa, rambutnya sampai gondrong, awut-awutan. Di rambut yang dikira rumput kering ini, datanglah sepasang burung kecil yang membuat sarang di rambut, di kepala Palasara.
Palasara membiarkan godaan burung di kepalanya, di hatinya dia pikir ini pasti godaan agar dia (membatalkan) tapanya. Burung betina bertelur dan menetas. Ketika anaknya kecil, burung jantan pergi. Tinggalah burung betina cari makan untuk anak2nya. Palasara mengerti bahasa burung. Dia mendengar burung betina berkata.
“ Suamiku kok malah pergi nggak pulang2. Nggak kasihan sama anak-istri. Baiklah akan saya cari ke mana kamu pergi”. Burung betina lalu terbang cari sang suami.
Ketika tiba saat anak burung makan dan induknya belum pulang, maka anak2 burung mencicit, memanggil ibunya minta makan. Palasara yang tahu bahasanya menyudahi bertapanya, mencarikan makanan untuknya. Maka anak burung inilah yang membatalkan (‘menjugarkan’) tapanya.
Setelah anak burung bisa terbang, Palasara menyusul induk burung terbang ke arah barat, bawa anak2 burung itu. Pengejaran terhenti ketika ketemu sungai yang sangat lebar. Palasara tak bisa berenang. Palasara mencari tukang satang (perahu/rakit penyeberangan) dan minta diseberangkan.
Ternyata tukang satang ini wanita. Wanita ini badannya penuh penyakit kudis, banyak nanahnya, sehingga berbau anyir. Bersambung Jum’at depan ….. (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR