Lah kenapa emangnya? Meneng bae disit, Tak critani ya ….? Bisa jadi, KITA cuma selangkah di depan PENJARA. Tapi jika kita sekarang masih bisa menghirup udara bebas, mungkin karena kita “masih beruntung” saja.
Tanpa kita sadari, banyak sekali lho …tindak tanduk keseharian kita yang jika ditelusuri berdasarkan aturan, aktifitas itu dianggap sebagai pelanggaran yang bisa membawa kita masuk penjara. Karena itu, jika “sedang apes” ketemu aparat hukum yang punya kepentingan atau iseng, mereka bisa saja cari celah aturan, untuk disangkakan sebagai pelanggaran, dan kita resmi jadi pesakitan.
Setidaknya kasus Tora Sudiro yang tersangkut kasus hukum, bisa dijadikan referensi/introdpeksi diri kita.
Sebelum digelandang Polisi, siapa di antara kita yang paham kalo mengonsumsi Dumolid, obat yang mengandung Nitrazepam itu dikategorikan pelanggaran UU Narkotika? Yang mengonsumsinya, bahkan disetarakan dengan penghisap ganja, sabu sabu atau heroin?
Bagi orang awam, Dumolid itu obat anti depresi. Siapa nyana, UU No 35/2009 tentang Narkotika, obat ini dibatasi peredarannya dan harus melalui resep dokter. Bagi yang melanggarnya: hukuman penjara siap menanti. Apeslah Tora Sudiro, yang mengonsumsi rutin obat itu, tanpa dibarengi resep dokter.
Beberapa waktu lalu, publik pernah ramai dengan kasus yang menjerat 2 pemuda. Pasal pelanggaran yang dituduhkan, karena pemuda itu menjual Ipad ke konsumen via online tanpa disertai “manual book” berbahasa Indonesia. Aparat menggunakan UU No 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen untuk menjerat pemuda itu dengan hukuman kurungan 5 bulan penjara.
Masalahnya; siapa yang pernah membaca peraturan itu, dan mengerti jika produk2 tertentu yang dijual ke konsumen, penjual kudu menyertai “manual book” berbahasa Indonesia? Seorang sarjana hukum belum tentu ngerti. Ada begitu banyak aturan yang disahkan Pemerintah, yang mengatur aneka hajat hidup masyarakat banyak.
Tujuan aturan itu dibuat mulia; menciptakan tata kehidupan yang aman, tertib dan teratur. Karena itu, nyaris di tiap aturan juga diselipkan ketentuan2 sanksi bagi pelanggarnya—bisa denda administrasi dan uang dan penjara. Saking banyaknya aturan, ditambah tak banyak yang “melek” aturan, banyak keseharian yang mungkin kita anggap lazim, tapi oleh aturan dianggap pelanggaran.
Maka tak berlebihan jika pengacara pernah berujar, “Kalau aparat hukum iseng dan cari perkara, hampir semua penduduk Indonesia bakal masuk penjara atau kena denda, karena pelanggaran2 yang tak mereka ketahui” Coba saya sajikan beberapa contoh …
Siapa yang tidak pernah buang baterai bekas / obat kadarluasa ke tempat pembuangan sampah? Jika pernah lakukan itu, berarti sampeyan terancam penjara 6 tahun, karena membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) ke tempat yang tak semestinya. Harap diketahui, baterai bekas dan obat kadaluarsa, dalam peraturan Pemerintah dikategorikan limbah B3, tak boleh dibuang sembarangan.
Sering jalan di sepanjang rel KA, dan ada aparat hukum iseng/dendam, bisa jadi Anda digelandang masuk bui karena dianggap melanggar pasal 181 ayat (1) UU Perkeretaapian. Hukumannya tak berat; cuma penjara 3 bulan / denda terbanyak 15 juta rupiah. Untuk kasus ini, jamane inyong cilik kerap jadi pelakunya, karena menggunakan “ruang manfaat jalan KA” nggo playon / tempat bermain.
Bagi bapak2 yang hobi ngutak-atik dan memasang instalasi listrik di rumah, Anda pun calon penghuni penjara. Ketentuan UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, ternyata mengatur setiap pengoperasian dan pemasangan instalasi listrik tanpa dilengkapi Sertifikat Laik Operasi (SLO), diganjar kurungan paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Ngenes kan?
Tak sedikit dari kita yang dengan modal tang dan plesteran, memasang dan menginstalasi jaringan listrik di rumah kita tanpa SLO. Hayo ngaku bapake? Aturan ini jika diterapkan bakal menjerat adik dan ibu saya di kampung, dan pedagang hampir seantero Indonesia. Demi sesuap nasi, adik dan ibu saya membuka toko yang menjual aneka produk aksesoris, mainan dan pernak-perniknya.
Masalahnya, sebagian besar produk yang dijual di toko itu tiruan/imitasi, yang menduplikasi merek produk kesohor, tapi berharga jauh lebih murah. Bahasa gaulnya: barang KW. Berdasarkan pasal 102 UU No 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, memperdagangkan produk merek tiruan, bisa menyeret pelakunya ke penjara dengan kurungan 1 tahun atau denda Rp200.000.000.
Saya baru paham, menyembelih hewan ternak, kita bisa2 terkena pasal pelanggaran yang berujung penjara. Tak serta merta, kendati hewan ternak itu milik kita, lalu kita seenaknya menyembelihnya. Jika hewan itu betina yang produktif, UU No 18/2009 tak membolehkan menyembelihnya. Jika tetap bandel dan melanggar, ada ancaman hukuman penjara “cuma” 3 bulan atau denda 5 juta bagi pelakunya.
Nah, lalu gimana cara untuk menghindari itu? Tak ada alias mboten wonten! Selain berharap, semoga kita tak bertemu dengan aparat hukum yang sengaja mengisengi kita. Jika tidak. Apeslah kita.
Sebagai catatan tambahan:
Sensus Ekonomi Lanjutan tahun 2016 oleh BPS. Mengutip pasal 39 UU no 16/1997 ttg Statistik, Setiap orang yang sengaja dan tanpa alasan sah mencegah, menghalangi, atau menggagalkan penyelenggaraan statistik yang dilakukan penyelenggara kegiatan statistik dasar dan atau statistik sektoral, dipidana penjara paling lama 5 tahun denda paling banyak seratus juta rupiah.
Dadi apa kesimpulane ya?
Hidup itu ya kudu sing bener dan hati2 Aja klalen sing akeh dongane. Insya Allah slamet donya dan akherate … Aamiin YRA. (Muchtar AF; dari grup WA-VN)-FR