Pak Johar itu asli dari desa, merantau ke Makassar (1970)-an. Hebatnya Makassar, di sana ada pantai Losari. Pantai ini di pinggir jalan di kota sebelah barat. Dulu, dari pantai itu orang bisa menikmati matahari sore sampai terbenam dengan nyaman.
Sekarang sulit, sebab yang dulu berupa laut kini jadi banyak bangunan. Ini akibat pendangkalan laut karena endapan lumpur sungai yang akhirnya di sana banyak bangunan berdiri dan menghalangi orang melihat laut lepas bebas.
Ketika bekerja di Makassar itu, suatu waktu dia kerja dengan teman kantor yang datang dari Denpasar (Pak Aren). Mereka bekerja jauh dari Makassar dan menginap di rumah milik kantor juga. Pada malam harinya mereka mengobrol ke sana kemari. Pak Aren cerita, katanya di Denpasar itu, di Pantai Kuta, kalau sore banyak orang terutama bule. Untuk melihat “sunset” (kalau lihat “sunrise” di Pantai Sanur).
Pak Johar bingung, lha apa bagusnya “sunset”/matahari tenggelam? Di Makassar orang bisa lihat tiap sore, dari dalam kota lagi, malah bisa di atas kendaraan pula. Di kampungnya, 50 meter dari rumahnya, Pak Johar bisa lihat “sunrise” alias matahari terbit di sela gunung Telomoyo dan Merbabu. Jadi “sunrise” itu hal biasa, atau menurut ilmu informasi, itu “bukan informasi” lagi.
Setelah berfikir keras, Pak Johar baru sadar, bagi orang kota yang tinggal di bawah dan atau di sela gedung menjulang tinggi, melihat matahari terbit atau tenggelam di alam, itu barang mahal, langka yang tidak setiap tahun bisa menjumpainya. Begitu pula bagi orang bule yang jauh dari garis katulistiwa.
Maka bagi mereka (orang kota dan bule) melihat “sunrise” atau “sunset” igtu rejeki besar dan mahal. Tak heran mereka berburu “sunrise” dan “sunset” ke tempat jauh. Apa anda termasuk golongan itu?
Namanya juga orang desa yang tiap hari bisa melihat matahari terbit dan terbenam, justru dia sangat heran melihat orang lain yang memburunya. KBY. Kok bisa ya ? (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR