Sajian ini, di samping berdasar literatur umum, juga saya lengkapi rujukan sesuai keyakinan dan agama yang saya anut. Misalnya, ketika saya sampaikan pemahaman tentang rasa syukur, manusia kini banyak yg lupa bersyukur.
Padahal, sebagai Muslim, kita senantiasa wajib bersyukur, karena orang yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Allah. Untuk menguatkan pemahaman itu, kita cocokan dengan sumber rujukan tentang rasa syukur yaitu (QS.Ibrahim [14]:7) dan (QS.As Sajdah [32]:7-9).
Lagi, ketika saya ajak Anda menghindari sifat senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang, maka rujukannya (QS..Ali Imran [3]:120). Aturan memaknai ayat bagaikan pemberian obat ke pasien, harus dengan dosis dan pada waktu yang tepat. Keliru memberi obat tidak akan menyembuhkan penyakit, mungkin memperparah keadaan si pasien.
Kalau kita amati, keresahan jiwa seseorang sering disebabkan pelanggaran atau tidak tepatnya menafsirkan aturan2 secara benar. Contoh, ketika saya sekolah di SMU Islam Ta’alumul Huda, Bumiayu, Jateng, sebagai anak pondokan. Terbatasnya uang saku dari ortu yg tinggalnya di Bandung, membuat saya harus hemat, dan berposisi diri sebagai orang miskin.
Ketika lihat orang kaya, muncul kecemburuan, rasa bosan jadi orang miskin. Saya punya ayat pembenar atas kecemburuan sosial saya ke orang kaya, yaitu _”Pada harta2 mereka ada hak untuk orang miskin.”_ (QS.Adz Dzariyaat [51]:19).
Ketika saya sampaikan ke ibu pengasuh di pondokan, saya akan menuntut hak saya ke orang kaya, dijawab, orang kaya pasti tidak kalah pintarnya memaknai ayat, ia pasti menjawab dengan ayat: ”Allah tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu tidak mau mengubahnya.” (QS.Ar-Ra’d [13]:11).
Setelah belajar dari banyak guru, saya paham penerapan dari ke dua ayat itu oleh si kaya dan si miskin tidak tepat. Memahami Al-Qur’an perlu terpadu, artinya dalam memahami ayat tidak boleh pisahkan dengan 6.236 ayat lain. Ayat2 Al-Qur’an tidak mungkin bertentangan antara satu dengan ayat lainnya.
Kalau salah menafsirkan, si miskin tak dapat sedekah, dan si kaya tidak berpahala. Harusnya, si miskin pakai ayat orang kaya, nasibnya tak akan berubah kalau dirinya tidak mengubahnya, yaitu (QS.Ar-Ra’d [13]:11), dan si kaya harus memakai ayat yang dipakai si miskin pada hartanya terdapat hak orang miskin (QS.Adz Dzariyaat [51]:19), maka keduanya termotivasi jadi orang bijak.
Dari memahami ayat itu, saya sadar keterbatasan uang saku kiriman dari ortu bukan penghalang saya menuntut ilmu. Untuk memotivasi diri, saya tanamkan kuat2 bahwa: “Allah tidak akan mengubah nasib saya bila saya tidak mau berusaha mengubahnya.” (QS.Ar-Ra’d [13] :11). Untuk mengubah nasib, saya harus bekerja, dan saya tetap taat dan bersyukur kepada Allah (QS.Al Anfaal [8]: 53).
Saya tawarkan diri ke pemilik peternakan ayam di daerah Bumiayu, kalau hari libur jadi supir L-300, mengantarkan telur ke pedagang di Slawi, Tegal, dan Purwokerto. Profesi pengemudi yang saya jalani, membuat saya tidak lagi merasa miskin, saya bisa berbagi rezeki dengan teman2 di sekolah.
Banyak pengalaman hidup yang saya dapat selama sekolah di Bumiayu. SMU Islam Ta’alumul Huda pimpinan Prof.DR.H.Yahya Muhaimin (Mantan Mendiknas) di kota kecil itu, karena saya harus menuntut ilmu, melanjutkan kuliah di Unpad Bandung. (Muchtar AF; dari grup WA-VN)-FR