Jaman sekarang, apakah kita bisa hidup tanpa tulisan? Dunia verbal sudah surut, semua serba tulisan. Bahkan beli tiket perjalanan, pesan hotel, pesan taksi, kita harus baca dan menulis. Alangkah sepinya grup WA ini bila tidak ada yang mau menulis, sekedar komen , yang copaspun butuh tulisan orang lain.
Bagi banyak orang menulis itu susah, apalagi menulis artikel. Menulis artikel opini di Kompas, harus bersaing dengan ratusan orang bila ingin dimuat, dan bila dimuat honornya hanya beberapa ratus ribu rupiah. Ada penulis yang mengeluh, sudah mengirim puluhan artikel, belum satupun ada yang dimuat.
Penulis juga harus super sabar diperlakukan se-mena2. Sahabat saya ada yang menulis roman sejarah, yang kalau dibukukan sudah lebih dari lima jilid buku saku. Tulisannya sangat bagus dan dibaca hanya oleh teman2 di grup face-book yang menikmatinya.
Draft bukunya diajukan ke penerbit tapi sudah ber-bulan2 tidak ada kabar beritanya. Mengirim artikel ke surat kabar harus sabar, beberapa suratkabar saja bersedia, memberitahu apakah tulisan kita itu diterima atau ditolak. Kalaupun toch penerbit mau menerbitkan bukunya, royaltynya pun tak seberapa.
Di negeri kita, jarang ada penulis yang kaya raya dari hasil menulis, Mungkin menulis pesanan hoax, bisa berhonor jutaan, atau menuliskan skripsi, tesis atau disertasi yang bisa mengutip tariff tinggi, tapi itu kan bukan nilai seorang penulis.
“ Tapi, jangan berhenti menulis”, hibur istri saya.
“Honornya di akhirat”, katanya.
“Kalaupun terima honor di dunia, itu bonus”, sambungnya, menyemangati.
Tapi memang menebar ilmu, itu amal jariyah, disebutkan dalambeberapa ayat Al Qur’an . Allah membedakan orang yang berilmu, apalagi menebarkannya. Orang berilmu akan diangkatderajatnya (QS Az Zumar 9; QS Al Mujaadilah 11). Wallahu a’lam bishawab. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR