Kompas.com-Pembangunan berorientasi dan berstrategi berpihak ke pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berkeadilan terus dipacu. Tujuannya meningkatkan daya saing menuju kemakmuran berkeadilan.
Ketimpangan dapat dicermati dari angka kemiskinan, tingkat pengangguran dan pemerataan pembangunan infra struktur, (konektivitas antar-wilayah). KIni penting mengingat terdapat 10,7% penduduk di bawah kemiskinan, dan 5,6% menganggur dan nyaris miskin.
Ketimpangan pembangunan antar-wilayah, (Wilayah timur Indonesia dan daerah perbatasan atau terluar) jadi tantangan. Tingginya disparitas harga di barat-timur dan ketimpangan persentase nilai PDRB nasional, khususnya di KIB (Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali), dengan KTI (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) perlu diatasi.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, biaya logistik salah satu penyebab terbatasnya infrastruktur. Akibatnya, biaya hidup di wilayah2 tertentu jadi mahal. Karena itu, pemerintah berupaya menekan biaya logistik dengan bangun infrastruktur.
Berdasar indeks pembangunan inklusif atau Inclusive Development Index (IDI), dirilis World Economic Forum (WEF)-2017, Indonesia di peringkat ke-22 dari 79 negara berkembang. Kita di bawah Thailand dan Malaysia, yang masing2 di posisi 12 dan 16. Pemerataan pembangunan itu jawaban ketimpangan, salah satu strateginya menjamin ketersediaan infrastruktur sesuai kebutuhan antarwilayah.
Infrastruktur diharap mendorong investasi baru, lapangan kerja baru, meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dampak dari bergeraknya ekonomi lokal.
Gencar membangun infrastruktur
Pembangunan infrastruktur jadi prioritas. Itu tecermin dari anggaran pembangunan infrastruktur pada APBN. Dari tahun ke tahun, anggaran infrastruktur meningkat, dari Rp 154,7T (2014) jadi Rp 269,1T pada 2016 dan Rp 401,1T pada APBN-P 2017.
Tahun depan, anggaran infrastruktur meningkat jadi Rp 410T, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Sabang sampai Merauke. Sebanyak 865 km jalan baru, 25 m jalan tol, 8.695 mt jembatan, 620 km jalur KA, 8 bandar udara, dsb bakal dibangun.
Proyek infrastruktur mangkrak dikebut. Misalnya, Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu. Setelah pembangunannya terhenti dua dekade, tol itu beroperasi November-2017. Gencarnya pembangunan ini membuat citra Indonesia bersinar di kancah internasional.
Laporan Global Competitiveness Index 2017-2018 yang dirilis World Economic Forum September-2017, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke-41 (2016) jadi ke-36 (2017). Infrastruktur itu tolok ukur peningkatan daya saing.
Meski meningkat, sektor infrastruktur masih perlu dipacu. Menurut laporan itu, kualitas infrastruktur kita di peringkat ke-52 dari 137 negara, atau tertinggal dibanding tetangga. Misalnya Singapura yang berada di peringkat ke-2 atau Malaysia di urutan ke-22.
Kian Inovatif
Dalam menggenjot pembangunan ini jadi masif, pemerintah terus berinovasi merancang skema pembiayaan lebih luwes. Inovasi itu tak hanya mengandalkan kantong APBN membangun infrastruktur. Maka, selain BUMN, pihak swasta diajak terlibat aktif mendanainya. Bahu-membahu itu mempercepat pembangunan sehingga dampak kehadiran infrastruktur segera terasa.
Hasil studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun menengah. Satu persen kenaikan investasi infrastruktur publik di negara berkembang bakal meningkatkan output sebesar 0,1 persen pada tahun tersebut, dan 0,25 persen empat tahun kemudian.
Menurut Robert Pakpahan, bekerja sama dengan swasta atau public private partnership jadi alternatif selain APBN dan penugasan BUMN. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih fokus pada pengembangan proyek infrastruktur yang kurang diminati, misal proyek air minum dan irigasi.
“Proyek pemerintah yang kerja sama dengan swasta : Palapa Ring dan pembangkit listrik di Batam,” ujar Pakpahan. Terkait skema pembiayaan, Menhub Budi Karya mengatakan, hal itu mempercepat konektivitas transportasi Tanah Air.
Kebutuhan anggaran sektor transportasi tiap tahunnya Rp 1.500T. Dari jumlah itu, pembiayaan dari APBN per tahun sekitar Rp 250T. “Ada gap kebutuhan dan anggaran sehingga perlu kerja sama dengan swasta”. Kemenhub mendorong kerja sama BUMN-swasta mengelola aset negara di wilayah kerja Kemenhub, seperti bandara dan pelabuhan.
Itu untuk meningkatkan pelayanan, daya saing ekonomi, dan partisipasi modal untuk mengembangkan aset. Pemerintah punya 3 klasifikasi proyek infrastruktur sebelum kerja sama dengan swasta. Pertama, jika proyek kurang layak secara ekonomi (feasible), maka dibangun dengan APBN murni.
Kedua jika proyek antara layak dan tidak. Kategori ini proyek pembangunan didanai kerja sama operasi (KSO) antara pemda atau BUMN dengan swasta. Yang terakhir jika proyek berpotensi menguntungkan secara ekonomi. Proyek itu bisa dikerjakan swasta. Pengelolaan aset itu ada jaminan dari pemerintah.
Ada 10 bandara dan 20 pelabuhan yang ditawarkan ke swasta. Bandara dan pelabuhan yang ditawarkan itu berpotensi untung. Bandara itu : Labuan Bajo, Sentani, Radin Inten, Banyuwangi, Tarakan, Palu, Sabang, Sibolga, dan Bengkulu. Pelabuhan : Bitung, Ternate, Manokwari, Kendari, dan Biak.
Kerja sama itu bakal ber-skema pengelolaan aset milik negara. Jangka waktu kerja sama operasional maksimal 30 tahun. Ssemua aset juga tetap dikuasai negara. Diharapkan Anggaran negara dihemat hingga Rp 1T. Anggaran itu dapat dialihkan untuk hal2 produktif lain, yakni membangun infrastruktur di daerah terluar, tertinggal, terdepan-3T. (Andreas Lukas Altobeli; Kurniasih Budi)
Monggo lengkapnya klik aja : (http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/18/151500626/kurangi-ketimpangan-pemerintah-kreatif-gali-dana-infrastruktur)-FatchurR