Kalau tiba-tiba kepingin makan makanan semasa kecil ya wajarlah, sekedar mencecap nostalgia. Sego Liwet, Pecel Tumpang, atau cake kuno dwi-warna kuning-coklat memang ngangeni, suatu saat ada kesempatan pulkam ya itu dulu yang diburu.
Begitu pula orang yang sering berada di dapur rumah saya. Kalau ingin memasak masakan nostalgianya tidak nanggung, bumbu2nya dia usahakan selengkap ketika memasak di kampungnya dulu. Untung semua bumbu relative gampang didapat di Bandung, kecuali cabai nan aluih, alias cabai giliang yang merupakan _ingredient_ wajib bagi hampir semua masakan Minang
Berbagai pasar, tradisional dan super telah dia satroni untuk mendapatkan cabe giling yang sesuai selera. Mulai yang dekat rumah Griya Antapani, Superindo, Pasar Kaget, Cicadas.
Yang rada jauh seperti Cihapit, Kosambi, Suci, Riau Junction, sampai yang jauh di KBP Padalarang, tak ada yang ‘pas rasa’. Sebelum membeli dia minta izin ke penjualnya untuk mencicip sedikit. Setelah dicecap baru diputuskan jadi membeli atau tidak.
Cabai giling macam manakah yang masuk selera? Ya yang rasa cabai, jawabnya. Bingung kan ? Maksudnya, sebelum digiling cabai dipilih dulu. Yang mulai layu apalagi membusuk, dibuang. Digiling dengan tangan, bukan dengan mesin. Tidak dicampur wortel atau apapun. Campuran sedikit garam masih OK. Itulah spesifikasi cabai giling, yang bisa dipantau dengan ujung lidahnya…
Solusinya, membeli cabai (keriting) sendiri, diseleksi, dan… sudah kuduga, mendelegasikan tugas menggiling ke suaminya… Capek lho nguleg cabe, pegal di bahu dan belikat kanan, apalagi ada spek khusus hasil ulekan : biji cabenya harus pecah, walau tak perlu halus, agar aman di lambung.
Solusi lain, meng”impor” cabai giling dari Padang. Dibungkus plastik transparan dan tebal, kemasan pipih seperempat kilo per bungkus, simpan ke dalam freezer. Kalau ada kesempatan pulkam, kopornya penuh cabai menggantikan pakaian yang (sengaja) ditinggal… (Zaenal Arifin; dari grup WA-VN)-FR