Kompor, tentu semua dari kita mengenalnya. Tapi kompor yang satu ini, marilah kita ikuti cnnIndonesia.com berikut ini : Kompor ini tak beda dengan kompor konvensional. Tapi ada suatu keistimewaan. Tidak seperti kompor gas dan minyak tanah, kompor Hawuko ini pakai sampah sebagai bahan bakar.
Ujang Koswara, pencipta Hawuko, mengatakan sampah bisa jenis apa saja, “Sampah basah, misalnya nasi basah, itu nggak usah dibakar, bikin pupuk cair aja, bisa. Plastik nggak usah dibakar, dijual juga laku. Pakai daun kering, kertas, kardus, bekas2 ranting, apapun, masukin ke sini, dibakar” pada wartawan di Bandung, Julia Alazka.
Daya tahan api, menurut Ujang, tergantung dari berapa banyak sampah dimasukkan tungku. Jika tungku diisi sampah penuh, api tahan kurang lebih tiga jam. Durasi nyala api lebih panjang, bila tungku kembali diisi sampah. Hasil pembakaran tidak meninggalkan residu akibat proses pembakaran.
“Biasanya ada residu, ini nggak ada. Awet (apinya). Kalau sampah dimasukkan ke sini, ini sangat awet. Sampahnya, sampah apa saja. Kalau di kota sampah kering biasa, kalau di desa ada batok kelapa, serabut kelapa. Jadi tidak usah nebang pohon,” papar Ujang.
Hawuko bisa menghantarkan listrik 5 watt, cukup untuk menyalakan bohlam dan mengecas telepon seluler. “Sambil masak bisa ngecas HP dari sini,” cetusnya.
Energi sampah jadi listrik
Hawuko seperti kompor biasa berbentuk tabung. Ada lubang2 besar di bawah kompor dan lubang lebih kecil di bagian atas dan dalam kompor. Tujuannya memasok oksigen, gas untuk proses pembakaran. Di dalam kompor ada wadah berfungsi sebagai tungku. Di wadah itu, proses pembakaran sampah, sebagai bahan bakar, terjadi. Bagian atas kompor ada dudukan tempat meletakkan alat memasak.
Hawuko menghasilkan api besar lantaran sirkulasi udara terjaga. Panasnya mendidihkan air di teko dalam 5-10 menit. Hawuko ada tuas pengatur besaran api. Tuas tinggal digeser kiri-kanan mengecilkan atau membesarkan nyala api, termasuk mematikan kompor. Tuas berfungsi buka dan tutup saringan udara di bawah tungku. Bila saringan udara tertutup, maka pasokan udara terhenti dan mematikan api.
Ketika kompor menyala, arus listrik akan mengalir, dihasilkan generator yang terpasang di badan Hawuko. Generator bisa dilepas pasang itu mengubah energi panas jadi listrik. Di generator terdapat komponen2 elektronik : Kipas, plat pendingin, stabilizer, panel termoelektrik dengan kabel positif dan negatif, konektor USB, dan 2 tembaga terpasang di bagian kiri kanan peranti, layaknya sepasang kaki.
Plat tembaga tersambung ke tungku tempat api menyala yang mengantarkan panas ke panel termoelektrik. Sisi lain didinginkan pendingin dan putaran kipas. Jika satu sisi panel panas dan sisi lainnya dingin, maka energi listrik akan dihasilkan. Arus listrik distabilkan stabilizer sebelum dialirkan melalui kabel ke konektor USB.
Energi listrik yang dihasilkan bisa menyalakan lampu¸ mengisi baterai HP, atau power bank. Listrik juga untuk memutar kipas yang menjaga sisi panel termoelektrik tetap dingin. Membuat Hawuko, menurut Ujang, mudah. Biaya produksi di bawah Rp500.000. Tabung kompor bisa pakai kaleng bekas cat/biskuit.
Komponen elektronik didapat di toko peralatan elektronik atau toko online. Panel termoelektrik banyak dijual sebagai suku cadang dispenser (Peltier). “Alatnya tidak cari ke mana2, cari ke Plaza Kosambi (Bandung). Bahasanya Peltier untuk dispenser. Belinya jangan bicara Peltier teori. Ada Peltier untuk dispenser?” tutur Ujang menjelaskan alasan dia sebut panel termoelektrik itu Peltier.
Proses terciptanya listrik di Hawuko
Perubahan energi panas ke listrik di Hawuko, menurut Pakar Konversi Energi ITB, Pandji Prawisudha, terjadi karena efek Seebeck, fenomena yang mengubah bedaan temperatur jadi energi listrik.
“Makin besar beda suhunya, makin besar listrik dihasilkan. Tergantung material juga. Ada yang didesain suhu rendah, ada yang untuk temperatur tinggi,” ujar Pandji di Kampus ITB.
Efek Seebeck, itu satu dari tiga efek termoelektrik. Dua lainnya, efek Thomson dan Peltier, semuanya merujuk pada nama sang penemu. Menyoal penyebutan panel termoelektrik sebagai panel Peltier, Panel itu di pasaran disebut Peltier karena dipasang di dispenser. Padahal tepatnya Seebeck generator.
Peltier itu untuk menyebutkan proses termoelektrik di alat penampung air minum itu. Efek Peltier kebalikan dari efek Seebeck. Jika efek Seebeck, listrik dihasilkan akibat adanya perbedaan panas dan dingin, tapi pada efek Peltier, arus listrik justru dibutuhkan memanaskan atau mendinginkan.
Teknologi tepat guna
Produk rakitan Ujang ini, ada kelemahan yaitu menggunakan komponen elektronik impor. Di samping itu, listrik bisa diproduksi jika kompor menyala. “Sepanjang ada yang masak atau memanaskan, bisa menghasilkan (listrik).
Tapi kekurangannya dia, harus tetap masak. Di negara kita yang panas, kurang menguntungkan karena kita tidak butuh panas terlalu banyak, kecuali buat masak. Kalau di negara 4 musim, akan lebih terpakai,” ucap Pandji.
Dia apresiasi karya Ujang, wujud teknologi tepat guna. Hawuko, cocok digunakan di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya pakai tungku sebagai alat memasak. “Kalau darurat bencana, kita nggak dapat LPG, nggak ada minyak tanah dsb masaknya pakai hawu (tungku). Kalau itu menghasilkan listrik, bagus”.
“Artinya, sambil masak, bisa nyalain lampu, atau ditaruh di aki untuk nyalain lampu di malam hari. Itu teknologi tepat guna. Dari sisi kemanfaatan potensinya besar,” kata doktor lulusan Enviromental Science and Technology Tokyo Institute of Technology ini.
Target pasar
Selain darurat bencana, kompor Hawuko tepat untuk masyarakat miskin. Karena itu, Ujang gencar mendistribusikan Hawuko dengan melatih warga membuat sendiri kompor itu. Jadi warga terampil dan memanfaatkan Hawuko akronim hawu (tungku-Sunda) dan Ujang Koswara. “Kalau yang saya ajarin mau jual, persilakan. Supaya mereka mandiri, bisa hidup” ujar Ujang.
Langkah awal, Ujang dan relawan Komunitas UKO (Universitas Kehidupan Otonom), melatih warga RW 03 Kelurahan Hegarmanah Kec-Cidadap Kota Bandung. Belasan warga ikut pelatihan di Kantor RW 03. Warga antusias menyaksikan demo Hawuko. Salah satunya, Utlu Warsin, pria (53) yang jualan gorengan.
“Kadang2 gas susah dicari 3 hari belum dapat gas. Apalagi saya punya usaha dagang gorengan. Kadang2 udah mau matang, gasnya habis. Cari gas nggak ada. Akhirnya, nggak jadi dagangan. Insya Allah ini (Hawuko) bisa dipakai untuk goreng2an, jadi tidak susah nyari (bahan bakarnya)” tandasnya.
Monggo lengkapnya klik aja : (http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42233602)-FatchurR