Rasulullah SAW pada masa hidupnya adalah Kepala Pemerintahan, sekaligus pimpinan umat Islam, tapi dari hadits2 yang kita sekarang pelajari, tidak nampak ada aturan ketat, apalagi protokoler yang membatasi beliau bertemu dengan umatnya atau bertemu dengan penganut agama lain.
Ataupun orang Badui yang tidak selalu bersama beliau. Nabi mudah ditemui di rumah, di masjid, di pasar atau dalam majlis pengajian. Mudahnya bertemu Nabi, membuat seluruh ucapan, tingkah laku dan perbuatannya mudah menjadi acuan perhatian dari para sahabat.
Namun demikian ada aturan yang jelas yang harus dihormati dan dipatuhi misalnya, beliau tidak berkenan diganggu selagi istirahat, menemui beliau tidak diperkenankan nyelonong masuk, harus mengucap salam atau mengetuk pintu dan tidak masuk sebelum diijinkan tuan rumah.
Beliau juga tidak mengijinkan tamu berkunjung bila yang ada dirumah hanya istri2 beliau. Mereka selalu berhijab bila bertemu dengan tamu yang bukan makhromnya. Adab cara bertamu seperti ini patut diikuti seluruh umat dan itu masa kini, tetap berlaku walau jaman bergulir lebih dari seribu tahun lalu.
Berbeda dengan turunnya ayat Al Qur’an, Rasul segera meminta juru tulisnya untuk menuliskan dan para sahabat untuk menghapalkannya, Nabi melarang mencatat hadits. Nabi mengutamakan menjaga kemurnian Al Qur’an agar tidak tercampur dengan hadits.
Jadi, tumbuh dan tersusunnya kumpulan hadits pada jaman itu terbentuk dari hapalan para sahabat. Namun demikian, seorang sahabat Abdullah ibn Amer ibn Ash, selalu menulis hadist yang dikumpulkan. Ketika kebiasaannya itu ia diingatkan larangan menulis hadits, ia menghadap ke Rasul dan beliau mengijinkannya.
Dalam riwayat ketika Rasul menyampaikan tentang kadar2 zakat untuk kambing dan unta, Rasul minta sahabat mencatatnya dengan teliti. Jadi larangan mencatat hadits itu bersifat umum, namun untuk orang-orang tertentu yang bisa memilah-milah antara Al Qur’an dan Hadits, Rasul mengijinkan.
Hal ini menunjukan kebesaran dan ketulusan hati Nabi SAW dalam memikul tugas kenabian, serta bukti kebenaran Al Qur’an yang hakiki. Nabi tegas dan teliti memisahkan ayat2 Al Qur’an yang beliau terima dari malaikat Jibril dengan perkataan beliau atau wahyu yang beliau terima sebagai Hadits. Al Qur’an adalah kitabullah suci, tidak tercampur ucapan2 lain, sekalipun dari Rasulullah.
Diantara para sahabat yang paling banyak mendapat pelajaran dar Rasul adalah sahabat yang mula2 masuk Islam termasuk Khulafa Empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Kemudian sahabat yang selalu berada disamping Rasul dan sungguh2 menghapalnya, seperti Abu Huraira dan yang menulisnya, Abdullah ibn Amer ibn Ash.
Kemudian sahabat yang lama hidupnya sesudah Nabi dan dapat menerima hadits dari sahabat lainnya seperti Anas ibn Malik dan Abdulah ibn Abbas. Terakhir adalah yang erat hubungannya dengan Nabi seperti istri2 beliau, Ummu hatu’l Mu’minin, Aisyah dan Ummu Salamah. Bersambung…… (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
Rasulullah SAW pada masa hidupnya adalah Kepala Pemerintahan, sekaligus pimpinan umat Islam, tapi dari hadits2 yang kita sekarang pelajari, tidak nampak ada aturan ketat, apalagi protokoler yang membatasi beliau bertemu dengan umatnya atau bertemu dengan penganut agama lain.
Ataupun orang Badui yang tidak selalu bersama beliau. Nabi mudah ditemui di rumah, di masjid, di pasar atau dalam majlis pengajian. Mudahnya bertemu Nabi, membuat seluruh ucapan, tingkah laku dan perbuatannya mudah menjadi acuan perhatian dari para sahabat.
Namun demikian ada aturan yang jelas yang harus dihormati dan dipatuhi misalnya, beliau tidak berkenan diganggu selagi istirahat, menemui beliau tidak diperkenankan nyelonong masuk, harus mengucap salam atau mengetuk pintu dan tidak masuk sebelum diijinkan tuan rumah.
Beliau juga tidak mengijinkan tamu berkunjung bila yang ada dirumah hanya istri2 beliau. Mereka selalu berhijab bila bertemu dengan tamu yang bukan makhromnya. Adab cara bertamu seperti ini patut diikuti seluruh umat dan itu masa kini, tetap berlaku walau jaman bergulir lebih dari seribu tahun lalu.
Berbeda dengan turunnya ayat Al Qur’an, Rasul segera meminta juru tulisnya untuk menuliskan dan para sahabat untuk menghapalkannya, Nabi melarang mencatat hadits. Nabi mengutamakan menjaga kemurnian Al Qur’an agar tidak tercampur dengan hadits.
Jadi, tumbuh dan tersusunnya kumpulan hadits pada jaman itu terbentuk dari hapalan para sahabat. Namun demikian, seorang sahabat Abdullah ibn Amer ibn Ash, selalu menulis hadist yang dikumpulkan. Ketika kebiasaannya itu ia diingatkan larangan menulis hadits, ia menghadap ke Rasul dan beliau mengijinkannya.
Dalam riwayat ketika Rasul menyampaikan tentang kadar2 zakat untuk kambing dan unta, Rasul minta sahabat mencatatnya dengan teliti. Jadi larangan mencatat hadits itu bersifat umum, namun untuk orang-orang tertentu yang bisa memilah-milah antara Al Qur’an dan Hadits, Rasul mengijinkan.
Hal ini menunjukan kebesaran dan ketulusan hati Nabi SAW dalam memikul tugas kenabian, serta bukti kebenaran Al Qur’an yang hakiki. Nabi tegas dan teliti memisahkan ayat2 Al Qur’an yang beliau terima dari malaikat Jibril dengan perkataan beliau atau wahyu yang beliau terima sebagai Hadits. Al Qur’an adalah kitabullah suci, tidak tercampur ucapan2 lain, sekalipun dari Rasulullah.
Diantara para sahabat yang paling banyak mendapat pelajaran dar Rasul adalah sahabat yang mula2 masuk Islam termasuk Khulafa Empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Kemudian sahabat yang selalu berada disamping Rasul dan sungguh2 menghapalnya, seperti Abu Huraira dan yang menulisnya, Abdullah ibn Amer ibn Ash.
Kemudian sahabat yang lama hidupnya sesudah Nabi dan dapat menerima hadits dari sahabat lainnya seperti Anas ibn Malik dan Abdulah ibn Abbas. Terakhir adalah yang erat hubungannya dengan Nabi seperti istri2 beliau, Ummu hatu’l Mu’minin, Aisyah dan Ummu Salamah. Bersambung…… (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR