Kapal kayu ini tidak besar, sambil berpegangan ke atap, saya berkeliling merambat pinggiran dan sebentar sudah sampai di anjungan kembali. Selain sekitar 8-10 ruang tidur, ada dapur, kamar mandi dan meja makan yang luas, yang jadi tempat berkumpul dan obrol penumpang.
Meja itu terletak di geladak depan dan ada atapnya hingga nyaman untuk bersantai menikmati hembusan angin laut. Sekeliling geladak di pagari papan kayu yang rendah dengan papan agak lebar diatasnya, sehingga sambil bersandar ke tiang kita bisa duduk diatasnya.
Saya lihat ibu2 senang duduk di bibir teras itu sambil memandang ke laut lepas, bapak2 duduk sekeliling meja. Kami dengarkan celotehan Bapak yang berlayar bersama putrinya itu, yang pengetahuannya luas, sehingga menjadi teman berbincang yang menyenangkan.
Laut di NTT ini ramah. Air hampir tidak ada riak, kecuali di sisi2 kapal yang terbelah lunas kapal. Langit berbintang terbentang luas, sepanjang horizon hanya air, kapal seakan noktah kecil di laut. Kecuali riak air tersibak dan deru mesin kapal, tidak ada suara lain. Ketika malam merambat mengganti terangnya sinar matahari, keadaan sepi. Beda dengan di darat, malam dipenuhi suara serangga/ binatang malam.
Suasana sepi ini membawa pikiran nglangut mengembara ke-mana2. Untung koki memanggil penumpang untuk makan malam. Menunya di dominasi ikan laut segar. Cukup enak, walau nasinya agak pera, dengan butiran keras, sehingga kadang harus didorong minum. Sambal tomat pedas membuat nafsu makan naik dan makan banyak. Juga sajian pisang dan irisan semangka sebagai sajian penutup.
Kami menuju ke anjungan untuk shalat. Tempatnya sempit, tidak semua jama’ah tertampung, sehingga bergiliran tiap 4 orang. Inilah pengalaman pertama saya shalat di kapal. Kami shalat menghadap ke arah majunya kapal, sekalipun saya yakin kita berlayar ke arah timur.
Usai shalat, seperti biasa diadakan pengajian. Torpedo membuka, “Sekarang giliran I don’t know yang Tausyiah”. Saya tidak terlalu kaget, karena sayalah satu2nya anggauta rombongan yang berlatar belakang Telematika, mereka ingin dengar bagaimana Islam dengan sentuhan teknologi telematika.
Saat itu (sekitar 11 tahun lalu), saya belum menekuni agama dengan intens. Saya tak pernah ikut pengajian. Ibadah shalat wajib saya lakukan, waktunya berantakan. Ini ke-2x nya memberi Tausyiah, sebelumnya saya pernah menjadi khotib sholat Jum’at, ketika dipaksa oleh Dr.Edi Kurnia di Tokyo.
Jama’ahnya saat itu 3 orang termasuk saya dan tuan rumah produsen peralatan Telekomunikasi, menyediakan tempat dan waktu untuk ibadah shalat Jum’at. Pak Edi Kurnia memaksa saya, karena sayalah satu2nya Haji saat itu….……(bersambung) (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR