Ini perjalanan kepelosok dusun ditengah perbukitan yang pernah saya lakukan ditaun 80an. Bedanya waktu itu karena tugas survey lokasi tower repeater, dan kini karena undangan. Mohon tahan kalau ceritaku ini membosankan.
Ketika terima undangan dan baca alamatnya, rasanya mustahal bisa menghadiri momentum akad nikah anak sahabatku yang satu ini. Alamat desanya yang juauh penuh tantangan untuk tubuh manula. Dusun Babakan, desa Pangadegan kec Rancakalong Sumedang.
Tapi karena mendadak, anak ngajak, dan lama tidak pernah lewat sana, ada rasa rindu melihat hamparan sawah yang me-lingkar2 dilereng bukit hijau, yang menunjukkan ciri tanah Parahiyangan. Berangkatlah aku pagi pagi bersama cucu dan anak. Sengaja saya duduk dikursi belakang, biar bebas selonjor, istri, anak dan cucu dibagian lainnya.
Menghindari kemacetan yang sering didengar dijalur Sumedang, anakku menggunakan petunjuk mbah Google. Rupanya jalan yg ditempuh merupakan jalan kompas dari Tanjungsari lewat Cibangkong, dan melintasi proyek toll Cisundawu yg sudah dibangun sampai Tanjungsari.
Melihat medan turun naik bukit, dan ber-belok2, perut mual. Tapi alhamdulillah karena malu didepan cucu, aku bertahan hingga sampai didusun yg kutuju. Kebiasaan didaerah, ketika tanya alamat, agak susah dapat jawabnya. Tapi ketika saya ditanya kerumah siapa, penduduk lebih hapal walau jauh dengan rumah yang dituju. Mereka lebih kenal nama sahibul bait daripada alamat rumah.
Seperti layaknya menerima tamu agung, saya dan keluarga, langsung disuguhi menu ala welcome drink, ada lontong tahu Sumedang, ada ubi bakar cilembu dan kue2 tradisionil. Saya nggak milih yg lain, langsung serbu menu yang itu sambil menyaksikan joged gendang pencak silat. Sederhana, tradisionil dan nikmat ditengah sejuknya udara perbukitan, wara as istilah Sundanya.
Rumahnya sederhana, lesehan kecuali tempat pengantin yang sepintas kelihatan mewah, sekalipun diemperan rumah. Setelah usai makan siang yang mengenyangkan dengan hidangan sate dan ikan emas, aku segera tau diri untuk pamitan demi tamu yang sudah mulai berdatangan.
Singkat kata, karena trauma jalan pintas, pulangnya saya minta lewat jalan biasa, sekalian mampir beli tahu sumedang. Padahal, dari tuan rumah, bagasi mobil dipenuhi setandan pisan mulin yang menguning, dan tak ketinggalan semua jenis kue dusun.
Ada satu yang juga surprise, mang Hansip yang mengatur parkir, satupun tidak ada yang mau dibayar sekalipun sudah mengawal karena jalanan sempit dan tebing curam. Opo ora heibat. (Soenarto SA; dari grup WA-VN)-FR