(arifhidayatsolo.blogspot.co.id )-Doeloe, Tepatnya waktu saya masih di bangku Sekolah Dasar. Ada sebuah cerita rakyat menarik. Alurnya sangat menyentuh dan membekas. Jujur, saat membaca cerita itu saya menangis. Bahkan rasa sedih terbawa setiap hendak tidur. Banyak hikmah yang bisa dipetik.
Ceritanya bertutur tentang petani miskin yang menemukan anak singa yang ditinggal mati induknya. Lantaran iba, petani itu memungut dan merawatnya sepenuh hati, layaknya anak sendiri. Tidak dapat dilukiskan ikatan kedua makhluk Alloh itu. Jiwa mereka seakan bersatu. Sang Singa menganggap petani itu sebagai orang tuanya.
Waktu merangkak cepat. Anak singa itu dewasa. Di waktu bersamaan, sang petani mendapat karunia besar. Isterinya melahirkan bayi lelaki mungil dan lucu. Seluruh anggota keluarga bahagia, tak terkecuali sang singa. Gerak- gerik dan pancaran sinar matanya, menyiratkan Kebahagiaan luar biasa. Mulai saat itu, sang singa mendapat tugas baru, menjaga “adiknya” kala sang petani dan isterinya ke ladang.
Suatu hari, saat petani miskin Itu bekerja di ladang dat isterinya mencari kayu bakar di hutan, tiba2 terdengar jeritan bayi mereka dari dalam pondok. Sang petani terlonjak kaget. Firasatnya memburuk.
Secepat kilat ia menyambar goloknya, lalu bergegas menuju sumber jeritan tadi.
“Apa yang terjadi? Dimana singa itu?” Batin sang petani.
Setibanya di halaman pondok, ia tidak mendengar suara apapun. Senyap. Hanya suara nafasnya menderu saling memburu. Hatinya galau. Ketakutan mulai merayapi pembuluh darahnya. Dan pada saat yang sama, sang singa keluar dari pondok. Mulut, taring dan cakarnya belepotan darah.
Seperti biasa, setiap sang petani pulang, Singa itu segera mendekat. Menggerak-gerakkan ekornya, lalu mengelus manja di kaki “Ayahnya”. Jangan2, Ia telah memangsa bayiku?, Jerit batin sang petani.
Menyaksikan hal ini, sang petani kalap. Darahnya seakan berkumpul di ubun-ubun. Sambil berteriak, ia mengayunkan goloknya ke arah sang singa
“Makhluk terkutuk, tidak tahu balas budi kau..”. Singa itu tidak berusaha menghindar, apalagi lari menjauh. Bahkan tatapannya memelas, memohon agar “ayahnya tidak melakukan hal bodoh itu. Namun seluruhnya sudah terlambat. Dalam sekejap singa itu roboh berlumuran darah. Kepalanya sobek akibat sabetan golok sang petani, menggelepar, lalu mati seketika.
Sang petani, menghamburkan diri menuju pondok miliknya. Tiba2 langkahnya terhenti di depan pintu. Samar2 ia menangkap celoteh dan tawa bayinya. Hatinya mulai ragu. Ia menengok ke belakang. Di sana singa terkapar mati. Sambil gemetar, ia mendorong pintu. Pemandangan yang mengejutkan.
Sekujur tubuhnya dingin. Lututnya goyah. Pandangan matanya kabur. Ternyata, bayinya masih hidup. Di samping pembaringan bayi itu, tergeletak bangkai seekor ular besar. “Ya Alloh, apa yang telah aku lakukan? Celaka diriku, celaka diriku…”. Ia berbalik dan lari ke arah singa yang telah kaku itu. Dipeluknya tubuh sang singa. Ia menangis, meratap dan me-raung2, sembari mengutuki dirinya.
Hingga isterinya kembali dari hutan, sang petani masih duduk memeluk jasad singa yang malang itu. Air matanya telah kering meninggalkan perih di kelopak matanya. Penyesalan meruangi hatinya. Namun apa mau di kata, ibarat nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlambat.
Saudaraku, begitu pentingnya Tabayyun itu. Keputusan tanpa proses Tabayyun (Klarifikasi), di pastikan melahirkan penyesalan. Ya penyesalan tak berujung dan abadi sepanjang hidup. Karena kita menimpakan keburukan atas diri orang lain. Padahal, mungkin saja mereka berlepas diri darinya.
Makanya, Alloh ta’ala tegas menyuruh agar selalu mengedepankan tabayyun. Dan hikmahnya jelas, “… agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurot, 49 : 6).
Menulis ulang cerita ini emosi saya kembali ter-aduk2. Bagaimana jika petani itu adalah diriku?
Bagaimana menjalani sisa2 hidup di bawah bayang2 rasa bersalah yang menghimpit. Terlebih pada orang yang telah berjasa dalam hidupku. Andai ada satu permintaan, tentu petani memohon supaya waktu memutar kembali.
Namun begitulah, penyesalan itu, selamanya pasti datang terlambat. Hidup adalah ujian. (Soenarto SA; dari grup WA-VN; sumber dari http://arifhidayatsolo.blogspot.co.id/2017/04/)-FR