P2Tel

Malu cerita ke Orang Jepang

(Tulisan : Moh Mahfud MD)-Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

SAYA terperangah dan takjub ketika pada 16/1/18, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab pertanyaan saya sambil ter-heran2.

 

Saat itu saya dan Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari FH UGM diundang makan siang oleh pimpinan  ASEAN Nagoya Club (ANC) di restoran di Nagoya. ANC, komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi dosen bidang hukum, pihak tuan rumah membawa advokat, Junya Haruna, dan guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.

 

Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan2, saya tanya ke Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim di Jepang?” Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu.

Dia katakan, sepanjang kariernya dia tak pernah dengar ada hakim dicurigai terima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”

 

Di Jepang, masyarakat percaya hakim tidak mau disuap. *Di sana hakim dihormati dan dimuliakan karena integritasnya.* “Apakah Anda percaya semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.

 

“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Misal kami kalah dan tak sependapat putusan hakim, paling jauh kami mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.

 

Ketika Haruna mau tanya balik tentang Indonesia, saya membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch ini indah dikelilingi kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon2 yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.

 

Saya lihat Uceng segera ber-patut2 mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.

 

Sengaja saya belokkan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru meyakinkan pimpinan ANC aturan hukum di Indonesia kondusif untuk berinvestasi.

 

Saya berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

 

Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkan saya harus bercerita, hakim2 di Indonesia bukan hanya dicurigai tapi benar2 banyak yang digelandang ke penjara.

 

Saya malu juga, misalnya, kalau harus bercerita di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita pengacara2 di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.

 

 

Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.

 

Takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya di Indonesia ada jaksa / polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab jujur tapi berdosa saya sebagai muslim jika dijawab bohong. Kita punya budaya  sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.

 

Awal 2014, selepas jadi ketua MK, saya diundang jadi tamu oleh Kemenlu Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo. Apa ada penggantian gubernur? Ya, tapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif.

 

Mengapa mengundurkan diri? Karena gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanyenya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik

 

Jadi, gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya melakukan korupsi politik. Seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu pegawai dari Kedubes Jepang di Jakarta datang ke saya mengantarkan uang Rp120.000,- Untuk apa?

 

“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.

 

Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang itu pun masih diantarkan ke saya. “Duh, kok repot2 ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pp dari kantor Anda ke sini  lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.

 

Jepang anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari 7 negara termaju di dunia. Budaya hukumnya  indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas jadi budaya Pancasila.

 

*“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?”* kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang. (Soenarto SA; dari grup WA-VN; bahan dari https://nasional.sindonews.com/read/1275121/18/malu-bercerita-kepada-orang-jepang-1516371613)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version