P2Tel

Oh PSTN (RE 006b)

Satu, mungkin ya hanya satu itu keunggulan PSTN dibanding dengan GSM, yaitu kepastian tempat si pemakai telepon. Bagi bisnis, kepastian tempat usaha ini amat penting. Bagi sebuah hotel, tentu memiliki telepon PSTN, bisa meyakinkan hotel itu memang eksis.

 

Bayangkan bila usaha penyelenggara Umrah, bila tidak memiliki nomor tetap, mana orang bisa yakin  ada betul penyelanggara Umroh itu.  Karena “keunggulan”ini, salahsatu hipotesa dari Reboan Februari yang lalu, “Bahwa bila keadaan lainnya tidak berubah (ceteris paribus), maka jasa PSTN masih tetap ada, setidaknya dalam lima tahun kedepan”.

 

Jadi Direksi Telkom, satu2nya penyelenggara telepon tetap di Indonesia, suka atau tidak suka, akan mewariskan kepada Direksi penerusnya, jasa PSTN berikut asset, termasuk belitan dan bentangan kabel udara yang “menghiasi” jalanan kota, serta carut-marutnya pelayanannya kepada pelanggan.

 

Telah banyak rekayasa teknologi untuk “menyelamatkan” jasa yang pernah menjadi andalan banyak operator ini, namun disadari kabel tembaga sudah mentog dan harus bermigrasi ke fiber optic. Di negeri yang mapan, peralihan jasa telepon tembaga ke saluran fiber to home, berjalan dengan mulus.

 

Selain mutu audio jauh lebih baik dari yang lama, pipa fiber ini menjanjikan internet dengan band-width extra lebar, juga menyajikan jasa video, baik conventional TV dan inter-active TV; video call dengan mutu tinggi. Diantara triple players Telepon, Internet dan TV, telepon menjadi sekedar bisnis sampingan.

 

Di sini, peralihan ini dipasarkan sebagai jasa Indihome, pada tahun 2017, baru mencapai 2 juta pelanggan. Padahal kita memiliki “captive” pelanggan 15 juta pelanggan telepon tetap. Indihome, terseok ketika harus bersaing dengan penyelenggara TV Cable lain. Apakah ini sekedar kekeliruan mengambil posisi marketing?

 

Apakah tidak lebih baik fokus ke pelanggan yang sudah ada dan “memposisikan” telepon sebagai bisnis utama, sedang internet dan TV “sekedar” bonus? Wallahu a’lam bishawab.

 

Andaikata anda sebagai investor TELKOM, apa peduli anda dengan PSTN yang kini hanya sebagai beban? Apa peduli anda dengan ber-tubi2nya keluhan sebagian dari 15 juta pelanggan? Bagai buah si malakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati. Ya, mengutip buku “bila serdadu mengelola BUMN”, di kulum saja.  (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR; Bersambung, anti thesisnya

 

Tanggapan Murjanto : PSTN memiliki keunggulan :

  1. Kepastian tempat.
  2. B/w dan speed yg bisa diekplor hampir tidak terbatas.

 

Maraknya bisnis o/l menunjukkan org skrg cenderung ogah pergi-2 (lebih banyak stay dirumah/ktr dp traveling). Nah mestinya ini bisa dimanfaatkan oleh PSTN (yg b/w melimpah) selama orag tsb tdk sdg traveling traffic komunikasinya bisa direbut oleh PSTN walau pest terminalnya tetap pakai samrtphone.

 

Ini hrs menjadi PR bagian enginering Telkom utk meningkatkan kemampuan (STB nya kalau dulu) agar bisa dimanfaatka customer tanpa setting-2 yg njlimet. Jika perlu jangan dikasih tunjangan prestasi jk para engineer nggak mampu membuatnya. Selama user menggunakan b/w PSTN user hrs memperoleh benefide (mungkin lebih murah dp b/w sellulair).

 

Servis lain yg butuh b/w besar harus bisa direbut oleh STB tadi walau end user menikmati servisnya lewat smartphone (takut ketauan klg/teman). Walau servise yg dinikmati secara pribadi tsb (via samartphone) menggunakan media STB kantor tetap jadi beban pribadi. Jika org bisa merasa nikmat berkomunikasi 2G – 5G dst via PSTN, tentu PSTN dirumah atau dikantor jadi pilihan utamanya.

 

Tapi perlu pondasi pelayanan dasar prima jaringan nggak mudah putus, dan jk terjadi gangguan kapanpun cepat perbaikannya. Jk selama ini orientasinya recovery cepat, maka kinig dan kedepan hrs cepat sekali.

 

Apakah utk itu jaringannya harus redundance atau SDM yg amat care itu hrs dipilih. Agar petugas/SDM care mungkin bekalnya nggak cukup UMR, perlu UHL (upah hidup layak) biar nggak pada milih jadi TKI. (Mur)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version