(travel.detik.com)-Aceh; Lupakan update di medsos saat jalan2. Maka datanglah ke desa ini, tidak ada listrik dan sinyal HP. Traveler yang pergi ke suuatu tempat umumnya tak bisa lepas dari gawai. Tempat2 wisata sudah mendukung jaringan internet. Namun jika diajak ke pedalaman tanpa listrik dan sinyal HP, berani coba?
Berkunjung ke pedalaman Aceh Timur, traveler menemukan banyak hal baru. Pemandangan alam di masih asri. Kehidupan masyarakat tergolong tradisional. Sore hari, mayoritas perempuan turun ke sungai mandi bareng sambil menyuci pakaian. Ketika detikTravel mengunjungi Desa Melidi di Kec-Simpang Jernih, Aceh Timur, Aceh.
Perjalanan dimulai dari Banda Aceh dengan jalur darat dan butuh sekitar 12 jam untuk tiba di ibukota Aceh Timur. Desa di Simpang Jernih ini masuk ke wilayah administrasi Aceh Timur. Namun untuk masuk ke sana, traveler harus lewat 2 kabupaten lagi yaitu Kota Langsa dan Aceh Tamiang dengan estimasi 4 jam. Tiba di Aceh Tamiang, traveler punya dua pilihan untuk ke desa Melidi.
Pertama, pelancong naik boat menyusuri sungai Tamiang dari pelabuhan Aceh Tamiang 5 jam. Biayanya Rp 50.000 – Rp 100.000 perorang. Opsi kedua, dari desa terakhir di Aceh Tamiang. Untuk akses ke desa terakhir dari ibu kota Aceh Tamiang butuh 2 jam. Setelah itu, naik boat sekitar satu jam.
Perjalanan dengan boat menjadi tantangan. Pasalnya, nahkoda tidak menyediakan pelampung sehingga jika terjadi insiden nyawa menjadi taruhan. Jika kondisi baru selesai hujan, air sungai meluap dan arus menjadi deras. Sepanjang perjalanan, air dari depan boat memercik ke dalam, membuat pakaian basah.
“Perjalanan ini risikonya kalau air surut karena boat bisa kandas. Saya paham medannya,” kata nahkoda, Pakat (35). Selama 1 jam menyusuri Sungai Tamiang, traveler dimanjakan keindahan alam yang menarik. Kupu2 aneka warna bermain di pinggir sungai jadi pemandangan tersendiri. Namun ada satu tantangan besar untuk ke Desa Melidi, yaitu batu katak.
Batu besar membentang ini hampir menutup sungai dengan lebar 100 meter. Boat harus melewati dari celah batu jika sungai sedang surut. Jika air meluap, batu tidak nampak dan kerap menimbulkan insiden. Pada 2013, tiga warga tewas karena boat tenggelam setelah menabrak batu itu. “Dinamakan batu katak karena dilihat dari jauh batu itu mirip katak,” jelas Pakat.
Usai melewati batu katak, butuh beberapa menit lagi sampai ke Desa Melidi. Perkampungan di desa ini masih jauh tertinggal dibanding di daerah lain. Di sana, warga menggunakan listrik tenaga mikro hidro dan hidup dari pukul 18.00 WIB hingga pagi hari. Cahaya lampu tidak seterang ditempat lain.
Di sana belum ada sinyal komunikasi. Traveler yang ke sana, bisa melihat perjuangan warga memburu sinyal di bukit sinyal. Ya di desa ini cuma ada satu lokasi di atas bukit yang dijadikan warga untuk mencari sinyal telepon seluler. Itupun tidak semua HP berhasil mendapat sinyal.
“Perburuan” sinyal ini dilakukan warga pagi hingga malam hari. Di sana, ada 2 batang kayu yang diolah sebagai tempat menaruh HP. Jika sinyal sudah didapat, HP tidak boleh bergeser sedikit pun. Untuk berbicara, harus menghidupkan pengeras suara atau menggunakan headset. Lha kalau ada anak muda nelpon pacar harus ngomong di antara banyak orang?
“Malam minggu biasa ada remaja ke bukit sinyal untuk nelpon cewek. Ngomongnya pakai loudspeaker,” ungkap Ajisah, tokoh masyarakat Melidi. Suasana perkampungan Melidi siang hari sepi. Tapi saat malam , suasana berubah. Dara2 berkumpul di depan rumah dan belajar tarian Bines, tarian khas Gayo yang dimainkan khusus perempuan.
Suara nyanyian yang dilantunkan peserta tari memecah keheningan. Pemandangan ini, tak ditemukan di perkotaan. Warga Melidi ini tergolong ramah2. Pendatang yang berkunjung disambut dengan baik dan saat berjumpa diajak bersalaman.
Meski hidup dengan keterbatasan dan ketertinggalan, masyarakat memuliakan tamu. Yuk berkunjung ke Desa Melidi! (sna/aff; Agus Setyadi; Bahan dari : https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3970505/main-ke-desa-tanpa-listrik-dan-sinyal-hp-berani-coba)-FatchurR