(merdeka.com/khas)- Gang sempit di pemukiman padat kawasan Pangadegan Timur, Jakarta Selatan, begitu asri. Warna hijau mendominasi. Berasal dari macam2 tumbuhan ditanam dengan media paralon panjang di atas selokan. Menempel tembok. Menjadikannya kebun vertikal. Ide cemerlang. Menyulap lahan sedikit jadi sedap dipandang.
Dulu daerah ini disebut Kampung Kumis. Warga sudah lama memanfaatkan cara hidroponik. Alternatif bercocok tanam memanfaatkan lahan seadanya dan tak perlu banyak tanah. Di kampung ini, mereka pakai 6 paralon. Panjangnya 4 meter. Disusun melintang dari atas ke bawah. Tiap paralon dibuat lubang. Total Ada 18 lubang dan diisi pot kecil berukuran sekitar 15-20 cm.
Di dalam pot terdapat busa bekas sebagai media tanam. Banyak bibit sayur dan bumbu dapur tumbuh. Dari kangkung, selada hijau dan merah, terong ungu, tomat, sawi, bayam merah, bawang daun, seledri dan cabai. Semua ditanam dalam satu unit.
Perlahan nama Kampung Kumis berubah. Kini kawasan itu lebih Kampung Agrowisata Hidroponik. Siapa sangka dulu kawasan ini kumuh dan banyak sampah berserakan. Layaknya potret pemukiman padat penduduk di tengah kota umumnya.
Adalah Saparudin, ketua RT 01 RW 01, inisiator dan penggerak tanaman hidroponik. Pria asal Klaten ini melihat kerangka hidroponik di lahan kosong dekat rumahnya. Kala itu dia belum jadi Ketua RT. Lalu minta izin ke Ketua PKK memanfaatkan alat hidroponik terbengkalai di kebun kosong.
Meski sebagai kuli bangunan. Saparudin pernah ikut pelatihan pertanian dari IPB. Dirinya mengenal hidroponik. Budidaya tanam memanfaatkan air tanpa menggunakan tanah. Meski air dicampur dengan nutrisi sebagai pengganti media tanah.
Berbekal pengetahuan itu, dia mengaplikasikannya. Dia mulai pakai pipa hidroponik menanam sayuran. Lalu diletakkan di pinggir jalan. Tanpa menggunakan pompa air, penyalur nutrisi pada tanamannya. “Kalau airnya habis tinggal kita tambah bersama nutrisi,” kata Sapar kepada merdeka.com.
Saat ini Sapar bersama warga RT 01 punya 7 unit tanaman hidroponik. Banyak jenis teknik penanaman hidroponik dilakukan. Misal mengombinasikan tanaman hidroponik dengan kolam ikan, dengan bantuan pompa air. Teknik ini disebut sistem irigasi (fertigasi). Cara umum digunakan petani hidroponik di dunia.
Dengan sistem irigasi, dapat meningkatkan pemakaian nutrisi berkelanjutan. Pemberian nutrisi bisa terkontrol dan lebih hemat dibanding teknik tanpa menggunakan pompa air. Kelebihan sistem irigasi ini juga mampu meminimalisir hama dan terbebas dari penyakit tanaman.
Hasilnya memuaskan. Saat panen kangkung mampu mengantongi uang Rp 270 dari tiap unit hidroponik. Padahal hasil panennya baru dijual ke warga sekitar. Seikat kangkung asal dari 3 pot kecil dia jual Rp 5.000. Dia yakin, hasilnya lebih berkualitas dibanding di pasar. Tanaman kangkung, tak ada bolong dimakan hama pada bagian daun dan batang. Saat dimasak teksturnya lebih renyah.
Itu semua lantaran cara tanaman hidroponikyang organik. Bebas pestisida berbahan kimia. Termasuk nutrisinya. Biasanya jenis margafor (cair) dari nutrisi AB Mix B (Mix NH 18), dibuat peneliti IPB. Hanya, teknik irigasi ada kelemahan. Terutama modal pembuatan hidroponik. Setidaknya, satu unit butuh dana hingga Rp 2,5 juta. Modal itu untuk beli pipa paralon, pot, mesin pompa air, bibit, nutrisi dsb.
Sistem irigasi ini butuh perhatian khusus. Sebab bila terjadi kesalahan perawatan, berdampak pada hasil tanaman saat panen. Sapar menggunakan teknik aquaponik. Kombinasi hidroponik dan budidaya hewan dengan air atau aquakultur dalam satu waktu bersamaan. Proses ini terjadi simbiosis mutualisme. Air tanaman hidroponik dimanfaatkan untuk kolam ikan.
Air irigasi hidroponik lebih bersih setelah dimurnikan tanaman. Kotoran hewan dalam kolam bermanfaat sebagai pupuk organik. Ikan lele jadi pilihan. Bukan tanpa alasan. Dia yakin jenis ikan ini jadi primadona kuliner di Jakarta. Sehingga dia menyasar para pedagang pecel lele dan berperan sebagai pemasok.
“Ikannya kita jual ke tukang pecel lele. Sudah kerja sama. Jadi tiap panen jualnya ke sana”. Walau lebih menguntungkan, harus diakui modal awal membangun aquakultur ini menghabiskan Rp 7,5 juta.
Sapar tak ambil pusing. Sebab, kegiatannya ini mendapat sponsor dan bantuan dari Siaga Bencana Berbasis Masyarakat Palang Merah Indonesia (Sibat PMI). Bantuan berbentuk infrastruktur itu jadi penyemangat Sapar. Hobinya bercocok tanam sejak remaja dapat dukungan. Sejalan dengan program PMI kelurahan Pangadengan.
Kini ada 7 RT jadi daerah percontohan. Tersebar di tiga RW, yakni RW 02, RW 03 dan RW 7 kawasan Pangadegan Timur. Meski belum setahun. Kampung Agrowisata ini banyak dikunjungi. Dari perwakilan International Comite Red Cross (ICRC), perwakilan Palang Merah Hongkong, AS dan Jerman. Tokoh2 nasional juga pernah berkunjung dan membantu modal.
Suksesnya kampung hidroponik merupakan hasil kerja sama para warga. Mereka bekerja secara sukarela. Kebanyakan peminatnya para ibu rumah tangga. Memanfaatkan waktu senggang saat suami dan anaknya pergi sekolah. Remaja di kampungnya juga turut membantu.
Keberhasilan ini membuat kampung argowista belum dapat perhatian khusus pemerintah setempat. Mulai dari kelurahan-kecamatan. Abdi Negara belum memfasilitasi. “Saya sudah ajukan ke kelurahan akhir bulan Januari. tapi barangnya belum ada, ketika itu” ungkap Sapar, .
Hadirnya konsep hidroponik seharusnya ditiru banyak warga ibu kota di pemukiman padat. Sekaligus bisa membantu penghijauan kota. Sehingga tak ada alasan tidak bisa berkontribusi buat warga DKI. (Ang; Anisyah Al Faqir; Bahan dari : https://www.merdeka.com/khas/sayuran-organik-dari-gang-sempit.html)-FatchurR *