(properti.kompas.com)-Dibandingkan Masjid Demak yang dianggap pusat penyebaran Islam di Jawa, Masjid Wapauwe berusia lebih tua. Dibangun (1414), masjid ini saksi penyebaran Islam di tanah Maluku.
Tahun 1400, Perdana Jamillu dari Kesultanan Jailolo di Moloku Kie Raha (kini Maluku Utara), datang ke Tanah Hitu (Leihitu) menyiarkan agama Islam pada masyarakat di 5 perkampungan di Pegunungan Wawane. Kelima perkampungan itu : Kampung Assen, Wawane, Atetu, Tehalla, dan Nukuhaly. Perdana Jamillu bersama orang kaya Alahahulu membangun masjid di lereng Gunung Wawane.
Dua kali berpindah lokasi Harian Kompas, 28/9/2007 mencatat, tahun 1614 masjid dipindahkan ke Negeri Tehala untuk menghindari tekanan Belanda. Lokasi ini berjarak 6 km ke arah timur Wawane. Di lokasi baru ini, masjid didirikan di dataran yang banyak ditumbuhi pohon mangga, (bahasa setempat disebut wapauwe). Nama ini mengilhami pemberian nama masjid.
Setelah Perang Wawane dan Perang Kapaha, Belanda berhasil menguasai Tanah Hitu dan memaksa masyarakat yang tinggal di gunung untuk turun ke pesisir. Hal ini agar memudahkan pengawasan. Adanya aturan ini, Masjid Wapauwe ikut dipindah ke lokasi saat ini (Kaitetu). Pemindahan masjid pada (1664) ini dikenal sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.
Arsitektur Masjid dibangun dari material kayu, dengan luas 10 x 10 meter. Ciri khas di masjid ini penggunaan gaba2 atau pelepah sagu dan rumbia sebagai atapnya. Dinding masjid terbuat dari papan dan batang daun sagu. Bagian utama ditopang oleh 4 tiang, sekeliling dinding ditopang 12 tiang. Struktur bangunan juga unik. Bila dilihat dari samping, maka bangunan terlihat miring.
Kemiringan ini tampak pada bagian kubah tidak simetris dengan bentuk masjid. Interior masjid dipenuhi ukiran kaligrafi. Di sudut timur dan barat atap terdapat ukiran kaligrafi berbunyi ‘Allah-Muhammad’, di sebelah utara dan selatan terdapat kaligrafi berbunyi ‘Muhammad’. Masjid ini tidak pakai paku. Setiap bagian disambung dengan memasukkan ujung kayu lain ke bagian kayu lainnya.
Di dalam masjid tersimpan musyaf Alquran yang ditulis pada (1550) oleh imam Muhammad Arikulapessy, pakai tinta campuran getah pohon dan pena urat enau. Tempat ini juga menyimpan timbangan zakat fitrah dari kayu dengan pemberat terbuat dari kerang laut.
Ada pula anak timbangan 2,5 kg terbuat dari campuran batu dan kapur. Satu anak timbangan ini sama dengan satu zakat di masa lampau. Umumnya, masyarakat zaman dulu membayar zakat meeka dengan hasil bumi seperti sagu maupun rempah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com; dengan judul “Masjid Wapauwe, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Maluku”, Penulis : Rosiana Haryanti; Editor : Hilda B Alexander; Kemdikbud; Litbang Kompas; dan https://properti.kompas.com/read/2018/08/22/213000021/masjid-wapauwe-saksi-bisu-penyebaran-islam-di-maluku)-FatchurR *