Akhir tahun 1969 pagi, saya melapor ke KUTlp di KdTel III di jalan Kapuas Surabaya. KaUr nya pak Moerwahono, jabatannya tinggi, beliau sering mewakili KdTel yang dijabat pak MA Loen. Pak Moer dengan kemeja putih lengan panjang, mengantar saya ke ruang pak Loen.
Saya agak lama dipandang dari ujung kepala sampai kaki, dan beliau berkata ke pak Moer, “Ini kayaknya cocok di Utara”, kemudian kedua orang pejabat tinggi itu berbicara berbahasa Belanda. Pak Moer menginstruksikan saya untuk menghadap lagi esok paginya. Saya datang pagi2 sekali dan pak Moer sudah menunggu di ruangannya.
Kami turun ke bawah, ke mobil dinas beliau, sebuah jeep Willys-1946, stir kiri. Pak Moer duduk di kemudi dan saya duduk disampingnya. Beliau menembus kota Surabaya, ke kantor Telepon Surabaya Utara dan saya di kenalkan sekaligus dititipkan ke alm pak Soepanjang, Kgtlp Surabaya Utara.
Saya ini apalah, baru lulus, kroco, tapi begitulah perhatian alm pak Moer, orang kedua di Jatim pada saya. Beliau seolah pengganti ayah saya. Saat saya menikah, beliau wakil keluarga di acara resepsi di gedung Maranata jalan Yos Soedarso Surabaya.
Saat sayadi Bandung, ketika Natal, saya sowan ke rumahnya di Sekelimus. Bu Moer yang walau sepuh masih lembut dan charmant, mendampingi suaminya. Beberapa waktu lalu saya dengar bu Moer wafat. Ketika mendengar pak Moer sakit, saya berangkat ke Bandung dan menengok ke RS Immanuel diantar oleh pak Trisulo.
Ingatan pak Moer sangat tajam dan banyak bicara, selain nostalgia saat di Surabaya, beliau cerita dengan runtut riwayat sakitnya. Kami heran, beliau ingat pak Trisula itu kerabat teman seangkatannya, pak Sentot Koesnadi. Pahlawan PTT ini kembali pulang, dipanggil oleh-Nya, kita hanya bisa merelakannya dan mengharapkan almarhum mendapat tempat terbaik di haribaan-Nya. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR