Ketika adzan Magrib sayup-sayup terdengar dari ujung pesawahan, saya pamit tuan rumah menuju ke mushola. Saya berjalan meniti jalan setapak menuju ke utara, sebelah kiri terbentang pesawahan yang sedang menunggu datangnya hujan.
Untuk melanjutkan siklus kehidupannya yang sudah berjalan lama, tergenang untuk tandur, hijau, berbunga, kuning, panen, kering, tandur lagi begitu terus sejak jaman Mataram. Sebelah kanan ada bangunan atap joglo baru, entah apa lagi yang akan dikembangkan di JVR.
Mushola Pangabekten, masih belum berubah. Dinding bawahnya dari rooster yang di cat kuning dan dinding atasnya kaca bening sehingga hamparan sawah nampak jelas, seolah jamaahnya sholat ditempat terbuka. Nama Pangabekten diambil dari akar kata bekti atau taat, patuh dan setia.
Nama ini mengandung harapan, yang shalat itu thooat, ikhlas kepada Sang Pencipta. Ikhlas dan patuh kepada apa yang diperintahkan-Nya dan taat menjauhi larangannya, sehingga mencapai derajat taqwa yang mulia disisi Allah. Amien.
Usai shalat saya sudah ditunggu tuan rumah di ruang makan. Kali ini JVR menyuguhkan nasi liwet Wongso Lemu Solo. Nasi liwet kebanggaan orang Solo ini ternyata sederhana saja racikan-nya. Nasi liwet gurih dengan sedikit sayur labu siyem yang kaya kuah, tim ayam kampung, secuil areh (santan kental) dan sepotong tahu rebus.
Yang bikin gemas, ukuran tahu kuning itu hanya 2 x 2 cm dan tebalnya sekitar 3 mm, pelit sekali. Tiga bungkus kecil licin tandas oleh kami berdua. Kami kemudian melanjutkan sejarah panjang pasar tradisional di tanah air dan telah akrab dengan perubahan.
Pasar Gede Solo juga sampai usianya yang ke 88 tahun sudah berulang kali ganti wajah, Pasar Besar Malang misalnya usianya 106 tahun ber-ulang kali di bongkar pasang sampai ke bentuknya seperti sekarang, , Pasar Atas Bukittinggi yang terkenal dengan jam Gadang, beberapa kali terbakar itu malah sudah berusia lebih dari 200 tahun
Pasar, selain pusat bisnis sebuah kawasan juga bisa menjadi pusat hiburan. Pasar Kosambi Bandung yang pagi hari sibuk orang berdagang, malam hari (dahulu) menjadi pusat hiburan. Dua gedung hiburan hampir berdampingan, sebelah Utara Gedung Wayang Orang Sunda Sri Moerni dan sebelahnya Wayang Orang Djawa Sri Waloejo.
Diseberangnya ada bioskop Rivoli, yang tangga lingkarnya berdinding kaca patri, tampilannya serupa dengan gedung bioscoop Metropole (Megaria) di pojokan jalan Cikini yang juga di sebelah Pasar Cikini. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
(ceritanya insya Allah masih bersambung)