Bila kita amati lintasan sejarah pasar2 tradisional, mereka tidak asing untuk selalu berubah, bebenah bermetamorphosa, menyesuaikan diri dengan kondisi jamannya. Ada yang mampu bangkit bersinar, namun tidak sedikit yang meredup, sepi, ditinggalkan pengunjung setianya.
Surutnya pasar tradisional kadang meninggalkan cerita mistik, tidak masuk akal, seperti ditinggalkan “naga” nya atau kurang sajen saat membangun kembali. Padahal, semua karena peremajaan pasar kurang direncanakan dengan baik. Mungkin karena dikejar pencairan APBD, survey mendalam kemauan pelanggan, lingkungan dan kenyamanan pedagang tidak dilakukan dengan menyeluruh.
Contoh yang jelas : Pasar Kosambi Bandung, dari sisi kapasitas pasar itu dibangun terlalu besar, jauh melebihi demand, jadinya lantai 2 dan 3 nyaris tidak ada seorangpun pembeli dan penjual. Lantai basement tetap kumuh sekalipun ramai.
Bagian luar tetap kotor, semrawut dan sumber kemacetan jalan utama Akhmad Yani. Belum lagi, arsitekturnya yang menurunkan citra arsitektur kubah Gedung Sate. Atap Gedung Sate itu cantik dan artistik, para perencana yang meng-copy, harus betul2 memperhatikan kekuatan dan kerumitan lekuk-lekuk temboknya.
Cerita pasar bebenah dan sukses adalah Pasar Balubur di tikungan Pasteur dan Taman Sari Bandung. Lalu lintas di mulut jalan ke Jakarta dan dekat jembatan layang itu nyaris tidak terganggu adanya pasar. Tempat parkir cukup, tempat kendaraan menurunkan barang bagus, tempat menjemput pengunjung juga baik. Pengunjung dan pedagang atau sesama pedagang bisa berinteraksi leluasa.
Sedang Pasar Baru setengah sukses, karena sempat jadi pusat mode baju muslimah Bandung yang padat dikunjungi pembeli domestik dan luar negeri, tapi pasar sayurnya di base-ment tidak tertata baik, kotor, becek dan meluap ke jalan2 disekitarnya. Macetnya juga membuat pengunjung enggan melintas di situ, lebih baik parkir di tempat agak jauh dan berjalan kaki ke Pasar Baru.
Saya lama tidak ke Pasar Gede di Solo yang mottonya “Serasa Belanja di Mall”. Di Jogja pasar yang sukses bebenah : Pasar Kranggan sekitar Tugu. Pasar ini sempit, ramai tapi tidak berambisi besar, sehingga yang dibuat bertingkat dua hanya sebagian kecil. Bagian tengah, bagian utama dari pasar dibuat konsep bangsal seperti konsep rumah joglo, lantainya dinaikan dan batas2 kiosnya disamarkan.
Pengunjung nyaman belanja di sana. Lokasi parkir tidak mengganggu area Tugu, lokasi penting di Jogja. Akan halnya pasar terkenal Pasar Beringhardjo, lumayan sukses jadi tujuan wisata.
Kalau boleh saya kritik atas pasar yang serba ada yang lengkap itu los tempat penjual keperluan pengantin di sisi selatan timur, bau pesingnya menyengat. Tidak sulit mengatasi kekurangan yang memalukan itu, gratiskan WC-nya. Bayangkan bila anda karyawan kantor yang harus bayar tiap pipis di kantornya sendiri
Tentang Pasar Muntilan, yang konon menurut “danyang’ nya pernah jadi tempat Robert Kennedy Jr. pidato kampanye, telah berubah total dan hampir selesai. Pasar favorit yang saya anggap miniaturnya Beringharjo ini, berubah jadi pasar megah bertingkat dan menyediakan tempat parkir yang luas.
Saya berharap cemas akan suksesnya pasar ini nanti setelah dibuka kembali, semoga makin nyaman belanja di sini dan tidak memalukan tamu2 negara yang selalu melintas saat menuju ke Borobudur, siapa tahu ada calon Presiden AS yang akan mampir lagi kemari.
Modernnya sebuah kota, pasar tradisional selalu dipertahankan. Kunjungilah pasar ikan di Tsukiji Jepang atau pasar makanan di Yanaka, mampu menarik pengunjung dan turis. Juga pasar Campo De Flory atau Davide Oricchio di Italy, atau pasar minggu di Munchen. Di Antwerpen Belgia, ada Vogel Market, yang digelar setiap hari minggu, tempat para petani setempat menjual apa saja hasil ladangnya.
Di sudut pasar ini ada pedagang kentang goreng (fritten) yang ramai di kerumuni pembelinya, saya senang melihat atraksi mereka menyantap acar ikan harring kecl. Pembeli menengadah sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Ikan yang dibumbu cuka kental itu, utuh2 djepit dua jari dan langsung digelontorkan ke tenggorokan dan …. mak slup meluncur ke perut. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
(bersambung)