Warung kelontong (warung mracang), salah satu bentuk perdagangan tradisional yang sejak jaman dulu sampai detik ini tetap ada, kokoh bertahan ditengah gempuran Alfamart atau Indomaret. Warung2 belanja seperti ini tidak tergantikan, karena tumbuh memenuhi kebutuhan warga disekitarnya.
Warung ini ada karena warga butuh atau dalam ilmu ekonomi menganut, “demand creates supply”. Warung ini dimiliki warga dan hanya menjual kebutuhan warga mulai keperluan dapur sampai segala keperluan rumah tangga sehari-hari, mulai jarum, peniti, lilin, pensil sampai obat wenter.
Bedakan dengan Alfa Mart atau Indomaret yang barangnya di catu oleh pusat, yang menganut konsep “supply creates demand”, tampilan dan dagangannya “template”, sama ditempat lainnya, sehingga sering tidak menjual barang yang dibutuhkan warga sekitar.
Terkadang warung kelontong tradisional ingin coba2 meniru konsep mini market plus adaptasi kebutuhan warga sekitar. Warung ritel mini market perorangan ini bisa sukses, bila ada niatan juga beramal menolong warga memenuhi kebutuhannya. Tentu saja niat utama berbisnis guna menambal kekurangan Manfaat Pensiun.
Karena niat luhur tadi, pemilik berusaha mengetahui kebutuhan (want and need) warga dan berusaha menyediakannya. Karena niatnya melayani tetangga, maka tentu berusaha memberi mutu baik dengan harga terjangkau. Kedua hal itu tanpa disadari kunci utama sukses dalam bisnis. Guna mengimbangi harga di Alpha Mart dan Indomaret, pemilik warung biasanya pintar memilih tempat kulakan.
Setiap tempat kulakan berkarakter beda dan harga berbeda untuk jenis barang yang berbeda. Mereka memiliki pengetahuan mendalam mengenai tempat kulakan, bahkan untuk banyak jenis mereka bisa jual lebih murah dari Alpha/Indomaret. Mereka jeli dalam mengikuti program promo/diskon dari toko2 besar disekitarnya.
Pembelian barang promo menambah selisih harga jual lebih besar. Warung ini menyediakan barang yang disukai pelanggan, bukan menyediakan apa yang pemilik warung sukai. Kalau ia menyediakan barang2 yang mereka sukai, bisa dikonsumsi sendiri bila tidak laku.
Warung-tradisional sering berfungsi sebagai rantai perantara antara pasar dan konsumen. Pada pagi buta, pemilik warung berada di pasar untuk kulakan sayuran, daging ayam dan jajanan pasar. Barang2 yang cepat busuk ini digelar di warungnya dan pagi itu pula cepat habis, diborong ibu2 yang pulang sambil mampir usai mengantar putra-putrinya ke sekolah.
Harga barang2nya juga tidak terpaut jauh dengan harga di pasar, karena pemilik tahu tempat2 kulakan dan mendapat harga miring. Kadang2 harganya malah bisa lebih murah dari pada kita belanja ke pasar. Setidaknya ada 2 keuntungan kita pergi belanja di warung, pertama kita tidak perlu jauh2 pergi ke pasar untuk mendapatkan barang yang sama.
Kedua pemilik warung yang baik sudah menseleksi kualitas barang2 yang akan dijual lagi. Sayurnya selalu segar dan baru, tempe tahunya padat dan kenyal, bahkan buah mangga di warung dijamin manis, tidak kecut.
Resiko gagal warung tradisional ini lumayan besar, terutama bila terlalu banyak memelihara piutang, karena tetangga membiarkan mereka hutang dan bila berlarut akan menyedot modal dan mengurangi kemampuan kulakan. Rugi juga bisa terjadi bila pemilik tidak hati2 memilih barang yang mendekati kadaluwarsa, bila tidak laku terpaksa dimusnahkan.
Mereka juga harus hati2 kulakan obat2an, harus asli dan masa kadaluwarsanya panjang. Setelah warung berjalan, biasanya ada tawaran2 bekerja sama, nah, bila keliru memilih partner, alih2 dapat untung, malah membebani toko kita.
Kegagalan juga bisa terjadi bila pemilik toko melalaikan prinsip utama berbinis yakni, pelayanan. Bagi pemilik warung tradisional bila mengabaikan pelayanan akan menderita dua kali kerugian, kerugian pertama adalah ditinggalkan pelanggan, kerugian kedua dijauhi tetangga. Berabe.
Jenis barang yang dijual di warung tradisional jaman dulu beda dengan barang dagangan jaman sekarang. Saat ini, banyak barang dikemas dalam sachet atau aluminium foil dengan tampilan gambar2 menarik. Jaman dulu hampir semua barang harus ditimbang atau di liter lebih dulu.
Gula, beras, kopi, minyak kelapa, camilan sukro atau kacang atom, kecap pun dijual eceran di ciduk dari guci kecap yang berwarna hijau pucat. Jaman dahulu tidak ada warung yang jual elpiji, mereka menjual minyak tanah literan. Air kemasan juga belum ada, jaman dahulu air minum ya air matang hasil rebusan.
Tidaklah lengkap laporan Reboan seri pasar ini bila tidak ditutup dengan peranan tukang sayur keliling. Jaman dulu mereka keliling rumah2 dengan gendongan bakul atau gerobak dorong. Melayani ibu2 di kompleks perumahan berbelanja sembari bertukar gossip. Jaman sekarang mereka melayani door-to-door dengan mengendarai motor.
Mereka mengantarkan pesanan yang diterima lewat short message: “Mbak besok saya mau masak sop. Tolong bawakan bahannya ya?”. Ibu penjual sayur ini sebelum jam 07.00 datang memijat tombol bel rumah, pembeli pun belum sempat ganti daster, pesanan sop lengkap sudah dibawakan: daging ayam, kentang, wortel, kubis, daun bawang, selederi dan apapun sesuai kebiasaan dan selera pelanggannya.
(Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
(the end)