(travel.detik.com)-JAKARTA; Hiportemia, frostbite dan altitude sickness itu 3 hal berbahaya dalam pendakian. Mari dikenali masing2.
“Saya pikir, banyak pendaki salah mengartikan hiportemia, frostbite dan altitude sickness,” kata Tjahjadi Nurtantio, guide pendakian gunung dari DAKS Die Welt der Berge (German Alpine and Climbing School), operator wisata minat khusus dari Jerman ke detikTravel (8/1/2019).
Pertama hipotermia, itu saat suhu tubuh turun di bawah 37°C (suhu normal manusia), karena kedinginan akibat cuaca seperti dari suhu, hujan dan angin . Sama dengan frostbite yang terjadi karena kedinginan, tapi ada bedanya.
“Hipotermia itu menyerang suhu tubuh secara keseluruhan, tapi kalau frostbite itu bagian tubuh tertentu khususnya yang terbuka dan kurang terlindungi seperti jari tangan dan kaki, hidung, kuping, dagu dan pipi”.
Frostbite adalah kondisi jaringan tubuh membeku. Diawali rasa kesemutan, te-tusuk2 sampai warna kulit menjadi kemerahan. “Paling parah, jika jaringannya mati maka harus diamputasi” katanya. Jika terkena frostbite, segeralah menghangatkan bagian tubuh dengan air hangat 40°C. Jangan terlalu panas airnya, karena justru dapat membuat luka semakin parah.
“Frostbite terjadi saat pendakian di gunung2 yang suhunya minus belasan °C. Di Indonesia kasus frostbite jarang karena tidak begitu dingin. Kalau di Carstensz bisa terkena frostbite, karena suhu di sana sangat dingin”. “Hipotermia dapat menyebabkan frostbite. Tapi, terkena frostbite belum tentu hipotermia” terang Tjahjadi.
Altitude sickness, itu kondisi tubuh pendaki kekurangan oksigen dan menerima tekanan udara yang hebat saat di ketinggian. Sama seperti hipotermia, altitude sickness dapat membuat seseorang meninggal dunia.
“Altitude sickness membuat gelembung paru2 (alveolus) bocor. Hingga menyebabkan akumulasi cairan pada otak dan paru2 (pulmonary edema dan cerebral edema), ringkasnya paru2 dan otak terisi air dari bocornya gelembung paru2 itu” paparnya.
“Kalau airnya sampai otak, 40% itu wafat. Demikian halnya jika airnya di paru2, 25%”. Gejala altitude sickness di antaranya mual, tidak nafsu makan dan sakit kepala. Jika gejalanya sudah terlihat, maka harus dibawa turun 1 level atau 100 meter. Supaya tubuh bisa pelan2 dapat beradaptasi di ketinggiannya. “Mulai ketinggian 2.500 mdpl, itu bisa menimbulkan altitude sickness” ujarnya.
Namun dia jelaskan, hiportemia, frostbite dan altitude sickness dapat dihindari para pendaki, dengan perencanaan dan persiapan matang. Alangkah baiknya, para pendaki menambah wawasan mengenai pendakian gunung dan risiko2nya.
“Naik gunung itu harus pintar. Kita sudah pelajari dulu segala hal sebelum mendaki karena naik gunung itu bukan mau mencari mati,” pungkas Tjahjadi yang juga co-founder CSVakansi, operator wisata minat khusus di Indonesia. (aff/aff; Afif Farhan; Bahan dari : https://travel.detik.com/travel-news/d-4376195/apa-bedanya-hipotermia-frostbite-dan-altitude-sickness)-FatchurR *