Pagi itu udara cerah, walau semalam turun hujan rinai menyiram bumi. Sisa2 butiran air masih melekat di sela rerumputan, menyiratkan pantulan sinar matahari, seakan kilatan mutiara yang menyembul diantara hijaunya rumput.
Burung podang yang berwarna kuning cerah, meluncur turun dari ranting bambu dengan cepat paruhnya yang hitam melengkung menyambar belalang yang sedang sial dan terpaksa menggumpal di dalam tembolok untuk makanan anak kepodang yang sedang menunggu di sarang tinggi di pucuk pohon kokosan.
Kicauan burung2 kucica ber-saut2an melengking tinggi. Paruh burung yang berbulu hitam bergaris putih itu menganga keatas, menghisap udara pagi sebanyak-banyaknya kemudian melontarkan suara derit yang keras melengking. Rupanya kucica kecil itu masih lebih suka mengundang bermain pasangannya dari pada mencari belalang.
Aku melangkah turun membuka pagar hijau dan melangkah keluar, menapak jalan kecil yang terbuat dari susunan bata-blok berwarna abu-abu. Dari jauh terdengar suara jeritan anak-anak bermain di Panti Asuhan di sudut, di mulut gang.
Mereka bermain berkejaran di rerumputan dihalaman panti yang cukup luas. Anak-anak itu alangkah riangnya, menjerit-jerit berloncatan di sela-sela pohon melinjo yang menjulang tinggi, seakan tidak perlu hirau masa depannya, padahal mereka sudah piatu dan diasuh di Panti.
Namun, di muka pintu rumah, di anak tangga, tampak seorang anak laki-laki, berdiri mematung tidak ikut bermain. Kuhampiri anak itu dan kusentuh pundaknya, “Mengapa kau tidak ikut bermain?”, bisiku lembut di ujung telinganya.
Anak itu menoleh dan masya Allah, anak ini buta. Tampak butiran air pada sudut matanya. Ia kemudian saya ajak duduk ditangga dan ia berkata dengan suara yang agak serak terisak,
“Ingin hamba menangis, tapi tak ada ibu yang mengusap air mata”, aku tersekat. Segera ia kurengkuh ke dadaku, tangisnya seakan lepas, sesenggukan sampai bahunya terguncang.
“Ingin hamba mengeluh, tapi tak ada bahu ayah untuk bersandar”, lanjutnya disela isaknya. Rangkulanku makin erat. “Hamba ini sebatang kara”, katanya.
Setelah agak reda tangisnya, kubiarkan dia bicara, “Hamba tahu, banyak keluarga yang datang kemari untuk memungut anak, tapi ….”, keluhnya memelas.
“Hamba hanya dilewati saja. Hamba tahu mereka ingin memungut hamba, tapi hamba buta. Hamba tidak bisa melihat.”, kembali isaknya terdengar. Kubiarkan anak itu sampai puas menangis. Kusibak rambut hitam dikeningnya dan kuhapus air mata yang mengalir dipipinya. Kemudian ia berbisik,
“Kadang hamba sedih sendiri dan ingin mati saja”, katanya menerawang.dengan pandangan yang kosong . “Disana tidak ada orang buta. Disana hamba bisa berjalan dan bermain tiada beda dengan teman-reman yang lain”… Kini aku tidak tahan lagi, terisak ……
Gamping Jogja, 20190102. (EP 047)
——
Catatan:
Cerita diatas saya tulis terinspirasi dengan syair lagu yang dinyanyikan oleh Karen Young, seorang penyanyi kelahiran Inggris yang tahun 1969, merilis lagu “Nobody’s Child”, yang kemudian meledak menjadi top hit dimana-mana. Berikut lirik lagunya,
I was slowly passing an orphan’s home one day
And stopped there for a moment just to watch the children play
Alone a boy was standing and when I asked him why
He turned with eyes that could not see and he began to cry
People come for children and take them for their own
But they all seem to pass me by and I am left alone
I know they’d like to take me but when they see I’m blind
They always take some other child and I am left behind
(No) mother’s arms to hold me or soothe me when I cry
Sometimes it gets so lonely I wish that I could die
I’d walk the streets of heaven where all the blind can see
And just like all the other kids there’d be a home for me
I’m nobody’s child
I’m nobody’s child
I’m like a flower just growing wild
No mommy’s kisses and no daddy’s smile
Nobody wants me
I’m nobody’s child
(Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR