Rini yang penasaran ingin lihat juga biola tua itu, mengantar Andre ke Goethe dan malamnya ia meneleponku yang bersemangat menceritakan pengalamannya hari itu.
“Saya sempat mengelus barang langka itu dan mengamati lipatan kayu dipinggirannya yang berwarna lebih gelap. Biola itu lebih besar dari biola biasa”, katanya antusias. Rini bercerita benda itu bukan milik Goethe, hanya dititipkan di Goethe sebelum diambil pemiliknya. Benda yang ditemukan di gereja tua di pedalaman Sulut itu peninggalan seorang berkebangsaan Jerman pendiri gereja.
Karena itu milik pribadi, pihak gereja dibantu Kantor Pusat Goethe mencari ahli warisnya di Jerman. Setelah ditelusuri teliti dan susah, karena banyak arsip kependudukan yang hancur akibat perang, akhirnya diketemukan cicitnya di pinggiran kota Saasbrucken, beberapa belas km dari perbatasan Perancis. Kini, ahli dia mengurus pengeluaran barang antik itu dari Indonesia ke Jerman yang tak mudah.
Ia harus dapat surat2 ijin dari berbagai Ditjen, sebelum diijinkan keluar Indonesia. Ahli warisnya itu, seakan dapat harta karun, karena diperkirakan nilai barang itu belasan milyar rupiah. Setelah diteliti, dawai dari biola itu tidak elastis lagi, sehingga bila dikencangkan dikhawatirkan putus. Andre dengan jari2nya, merasakan getaran pada ke-4 dawainya, saat didentingkan nada dari piano didekatnya.
Telinganya yang peka bisa mendengarkan gaung bunyi di perut biola. Mereka tak berani memutar ulirnya, apalagi mengganti dawainya dan berpendapat penggantian dawai harus dilakukan ahlinya.
Beberapa minggu setelah kunjunganku ke Wiyata Guna, Rini menelepon, minta kedatanganku ke Bandung. Goethe Institut ingin bicara denganku sebagai wali Andre dan aku minta ijin ke ketua Prodi di Kampus untuk berangkat ke Bandung guna memenuhi undangan Goethe. Aku beruntung selalu ada Rini, sahabat yang selalu siap menjemput sekalipun dini hari dingin di setasiun Bandung.
Setelah bersihkan badan dirumahnya, kami nikmati nasi kuning hangat yang sempat beli di jalan. Mirip seperti gudeg/soto ayam di Jogja, tiap pagi, hampir di tiap sudut kampung di Bandung ada orang berjualan nasi kuning.
Mereka cukup mengeluarkan meja dari rumah dan menata dagangan diatasnya, termos nasi kuning, sambel goreng tempe, kadang sambel goreng oncom, abon, irisan timun, selederi, daun surawung, kerupuk goreng, simpel, enak dan murah. Sebuah roda ekonomi rumah tangga bergulir di awal pagi. Setelah sarapan lezat itu, kami meluncur ke jalan RE Martadinata.
Sebuah jalan lama yang bagi orang2 tua dulu, lebih akrab dengan jalan Riau. Jalan yang dulu berjajar rumah2 besar berhalaman luas, kini berubah jadi pusat kuliner dan outlet pakaian. Rini mengenderai mobilnya dengan leluasa, masih pagi dan lalu lintas belum terlalu ramai. Diantara deretan pohon tanjung tua di kiri kanan jalan, mobil membelok dan masuk ke rumah no.48.
Pagar hidup yang terpangkas rapih membatasi halaman rumah dengan trotoar diluar dan melalui pintu pagar besi bercat hijau kami masuk ke halaman rumput hijau di-sela2 paving blok. Kami melangkah ke gedung Goethe Institut yang aslinya rumah tua dibangun sejak jaman Belanda, jaman gaya Art Deco yang pada jamannya jadi ciri arsitektur kota yang pernah dijuluki Paris van Java itu.
Atap gedung tua terbuat dari genting merah berbentuk limas dengan simetri sempurna, cukup tinggi untuk rumah tinggal, namun kini nampak “mungil” disebelah gedung bertingkat tinggi yang menjulang persis disebelahnya.
Kami turun dari mobil dengan pertanyaan2 di kepala, ada keperluan apa Goethe minta bertemu. Dari Andre, Rini tidak banyak dapat jawaban, anak itu tak tahu banyak, untuk membicarakan hari depannya. Ketika kami memasuki bangunan utama, menginjak lantai tua merah tua mendominasi pemandangan. Keheningan dan kesejukan menyelimuti kami. Pelitur kusen, daun pintu, nampak bersih dan mengkilat.
Dari kisi2 jendela yang terbuat dari kayu jati berdesain horizontal, cahaya sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam ruangan. Hampir tak ada dinding rumah yang tampak selain rak2 buku yang didisain kotak2 disesuaikan bentuk kisi daun jendela. Pada bibir bawah tiap jendela punya tonjolan papan kayu yang agak lebar tempat menempatkan tumpukan buku.
Di semua kotak rak yang berjejer di dinding, terpajang buku2 yang mungkin sengaja disusun tidak padat, sehingga warna pelitur kayu dibelakangnya jadi pernik hiasan tersendiri. Banyak buku dengan gambar2 indah, namun tak ada sebuah bukupun yang dapat aku baca, karena semua berbahasa Jerman. Semua terawat dan luar biasa bersih serta rapih tertata.
Kami dipersilahkan duduk di ruang tengah, mungkin juga untuk kelas, meja2nya lebar dan disusun menyerupai huruf U.Di luar terdengar suara bantingan pintu mobil yang ditutup dan sesaat, masuk wanita setengah baya ke dalam. Seperti wanita dari Eropa umumnya, sosok tubuhnya tinggi langsing. Rambutnya pirang banyak beruban dan dipotong diatas bahu.
Ia kenakan blaser krem, menutupi blouse putihnya dengan gaun bawah bercorak gurat2kotak berwarna coklat muda dan krem. Sisa2 kecantikan masih tergurat pada raut wajahnya ketika ia menghampiri kami dengan senyum lebar, menyalami kami. “Danke Schoen Danke Schoen !”, tangannya mengguncang erat menyalami kami. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR