(ekbis.sindonews.com)-Hingga saat ini, karyanya telah diapresiasi di sejumlah negara seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa. Batik dengan pewarna alam lebih dihargai di negara2 itu. “Eropa tidak mau sintetis, maunya warna alam” kata dia.
Dengan idealismenya ini, produk yang dihasilkan tidak selalu mengikuti
keinginan pasar. Tapi, ia yakin, konsistensi ini jadi ciri khas produk Alam
Batik. Selain itu, produknya ekslusif bagi pemiliknya.
“Orang bilang batik saya mahal, padahal saya jual tidak mahal. Toh tetap saja,
berapa pun terjual, terbeli. Harga batik saya mulai harga Rp 450.000, ada yang
sampai Rp 75 juta, Rp 250 juta,” ujar Ferry.
Batik berukuran 2,5 meter seharga Rp 250 juta itu pernah dibeli oleh seorang
kolektor batik. Proses pembuatannya tak main-main, memakan waktu 2 tahun hingga
dua tahun karena merupakan pesanan khusus.
“Saya tidak pasang harga. Ketika selesai, dikasih amplop, ternyata dia kasih Rp
250 juta. Jadi yang memberi harga adalah konsumen sendiri. Biasanya mereka yang
tahu batik dan filosofinya” papar Ferry.
Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna
Ferry sosok yang tak pernah berhenti belajar dan terus memperluas jaringan. Berbagai kesempatan diikutinya untuk mengembangkan Alam Batik. Salah satunya, bergabung dengan SETC.
SETC ini dikenalnya
2007, melalui usaha batik orangtuanya, Dinar Agung. Pada 2009, setelah memiliki
usaha, Ferry memberdayakan diri di SETC di bawah bendera Alam Batik. Sejak itu,
bisnisnya cukup pesat.
“Perkembangannya luar biasa. Banyak kegiatan expo seperti ini peluang besar
untuk kami. Penting untuk campaign. Expo tidak hanya untuk jualan, tapi juga
memperkenalkan ke masyarakat,” kata dia.
Kesempatan ikut pameran yang diselenggarakan SETC, jadi
kesempatan besar baginya memperkenalkan produknya. Alasannya, hingga kini ia
tak memasarkan produknya secara online.
“Saya ingin pembeli atau calon konsumen melihat, pegang batik karya saya. Dari
situ, dia merasakan keistimewaannya. Maka, kesempatan mengikuti expo, jadi
kesempatan besar buat saya. Saya jualannya masih konvensional, belum online,”
kata Ferry.
Selain ikut expo, UKM binaan Sampoerna juga mendapat kesempatan ikut pelatihan
terkait peningkatan kualitas produk dan packaging. Pengetahuan mengenai ini,
bermanfaat bagi pengembangan bisnisnya.
Ke depannya, ia harap, akan ada pelatihan dan pendampingan pembuatan situs web
untuk memperluas pasar UKM binaan. Ferry juga mengungkapkan, ia kini kerap jadi
mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan oleh
Sampoerna melalui SETC.
Tantangan dan Impian
Membangun usaha pasti ada tantangannya, juga bagi Ferry.
Persoalan bahan baku tak jadi persoalan. Namun, tantangannya mencari sumber
daya manusia (SDM) pembatik. Di Pasuruan, hal ini tantangan tersendiri karena
sebagian besar, generasi muda, memilih kerja di pabrik.
“Apalagi Pasuruan. Pabrik banyak, jadi pencarian tenaga kerja berat. Kenapa
saya terlambat produksi, karena hambatan tenaga kerja, bukan bahan baku,” kata
dia.
15 pembatik yang telah didik adalah remaja putus sekolah.
Prosesnya tak mudah agar mereka mau dididik jadi pembatik. Imbalan layak itu
komitmen yang diberikan Ferry agar kehidupan pembatik muda ini terjamin
kesejahteraannya.
Impian Ferry mengikutkan pembatik didikannya di pelatihan2 SETC, seperti yang
pernah dijalaninya. Tujuannya, melatih kemandirian. Ia tak mempersoalkan jika
mereka dibina lalu berdikari. “Anak2
muda ini diberi kesempatan untuk mendapat pelatihan-pelatihan untuk membentuk
kemandirian,” ujar Ferry.
Ia juga ingin merangkul lagi remaja putus sekolah atau kelompok marjinal dilatih jadi pembatik. “Mereka yang punya ijazah tidak susah (cari kerja). Saya merangkul anak putus sekolah untuk mengerjakan batik di rumah. Saya ingin lebih banyak anak2 yang demikian. Tapi saya tidak bisa melakukan sendiri, harus ada partner,” kata Ferry. (akn; Bahan dari : SindoNews dan https://ekbis.sindonews.com/read/1384201/34/batik-warna-alam-penuh-filosofi-1551787386)-FatchurR * Tamat………