(salamdakwah.com)-Di kota Riyadh, Saudi Arabia, seorang janda punya 2 anak lelaki, bekerja sebagai sopir taksi. Dua pemuda ini sangat berbakti pada ibunya. Mereka menabung untuk bayar kontrak apartemen, pertahunnya 24.000 real (80 juta rp). Susah payah keduanya menabung, terkumpul uang 10.000 real (38 juta rp).
Uang itu mereka ikat dengan karet, lalu dimasukkan ke plastik, setelah itu direkatkan dengan lakban hingga rapat dan tertutup, bungkusan uang itu disimpan di bawah bantal kamar mereka berdua. Ketika keduanya bekerja, si Ibu merapikan kamar anaknya. Beliau menemukan bungkusan tadi di bawah bantal. Mukanya memerah dan alisnya mengerut.
“Baru beberapa hari lalu Ibu marah pada kedua anaknya karena ketahuan main kartu di kamar. Ini benda yang membuatnya lalai” ucapnya kesal dan menggenggam bungkusan yang dikira kartu domino. Meski tanpa uang dan bukan judi, tapi main kartu itu melalaikan waktu. Banyak kewajiban lain harus ditunaikan oleh anak2, seperti shalat 5 waktu, belajar islam, berbakti pada orang tua, dan kebajikan lain
Ketika si bungsu pulang, ibunya menumpahkan amarahnya karena perintahnya telah diacuhkan. Pemuda ini termenung, ia merasa tidak bersalah karena ia sudah meninggalkan kebiasaan main kartu. Ia diam tidak membantah saat dimarahi ibunya karena ia memuliakan dan menghormati Ibunya. Si anak sadar hak orang tua itu agung setelah hak Allah untuk diibadahi.
Setelah Ibu selesai memarahinya, si bungsu tanya, “Ibu menemukan kartu dimana?”
“Dibawah bantal!” jawab Ibunya mantap.
“Dimana sekarang kartu itu?” tanya anaknya.
“Sudah Ibu Bakar” Jawab Ibunya dengan rasa puas telah menghukum anaknya.
Kira2 apa respon anaknya? Apakah ia akan menyalahkan Ibunya? memprotes Ibunya dengan suara yang tinggi bahwa Ibunya memfitnah dirinya? Atau anak tersebut akan menjelaskan yang dibakar Ibunya itu bukan kartu tapi Uang yang telah susah payah mereka tabung?. TIDAK!
Si bungsu menundukkan kepalanya, dengan suara perlahan ia minta maaf pada Ibunya dan berjanji tidak akan bermain kartu lagi. Amarah Ibu mereda lalu beliau melanjutkan kesibukan lain di rumah. Ketika anak pertama pulang, si adik menceritakan peristiwa yang baru dialaminya bersama ibunya.
Kakaknya bertanya, “Apakah kau ceritakan yang dibakar Ibu adalah uang?!”
Jawab adik, “Tidak! Saya hanya minta maaf dan berjanji tidak main kartu lagi.”
“Bagus! Jangan kau ceritakan hal itu agar Ibu tidak bersedih yang akan mengganggu pikirannya.”
Betapa halusnya kedua anak itu. Meski jelas Ibu yang salah tapi kedua anaknya tidak ingin mengeruhkan perasaannya, tidak ingin Ibunya kepikiran sedih dan menyesali ketergesaannya dalam memvonis.
Kedua pemuda ini hasil didikan orang tua yang shalih. Keduanya peka hati dan perasaan halus. Kedua anak ini tahu betapa berat perjuangan seorang ibu. Keletihan saat mengandung, fisik melemah, mual, muntah2 dan pengorbanan ibu saat melahirkan.
Keduanya sadar pengorbanan dan kasih sayang ortu sangat besar, dan tidak ada apa2nya dibanding pengorbanan mengumpulkan uang itu. Mereka paham bahwa jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan berbakti dan memuliakan kedua orang tua.
Allah berfirman : “Tuhan memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan berbuat baiklah pada Ibu bapak. Jika seorang di antara keduanya atau ke-dua2nya berusia lanjut dalam perawatanmu, jangan kau mengatakan pada keduanya perkataan “ah” dan jangan kau bentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Israa 23)
Firman lain, “Kami perintahkan agar manusia (berbuat baik) ke kedua ortunya; Ibunya mengandung dalam keadaan lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14)
Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata, “Seorang pria pernah mendatangi Rasul SAW lalu berkata,
‘Siapa dari kerabatku paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘siapa lagi?’ ‘Ibumu.’ ‘Kemudian siapa lagi?’ ‘Ibumu’. ‘siapa lagi?’ ‘Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai anak2ku segeralah minta maaf dan ridha ortu. Jangan sampai anda menyesal jika ortu wafat tapi masih belum ridha dan belum memaafkan kesalahan anaknya. Apapun perbedaan dengan ortu, selama orang tua tidak memerintahkan untuk maksiat/melarang dari kewajiban- maka bernegoisasi dengan baik. Tapi jika tak ada titik temu ikutilah pendapat ortu. In sya Allah mendatangkan kebarakahan.
Kepada orang tua, jadilah ortu bijak, tidak menekan jiwa anak. Berkatalah pada anak2 dengan santun dan lembut. Sabarlah menghadapi kesalahan2 mereka. Bimbinglah anak2 penuh kasih sayang. Ajaklah mereka untuk bermusyawarah. Janganlah gengsi menerima pendapat yang baik dari mereka.
(Oleh Ustadz Fariq Gasim Anuz; Cirebon, 6 Rajab 1440 H / 13 Maret 2019 M; Bahan dari : http://www.salamdakwah.com/artikel/5131-jika-anak-berbeda-pendapat-dengan-orangtuanya)-FatchurR *