Masih dalam rangka memanfaatkan sisa kesempatan bagi rombongan PP P2Tel di acara Senam Wisata Nasional, pada tanggal 28/4/19 hari Minggu melihat dari dekat Masjid Menara Kudus, seperti cuplikan dari sumber berikut ini :
(regional.kompas.com)-KUDUS; Masjid Menara Kudus di Kelurahan Kauman, Kec-Kudus, Kab-Kudus, Jateng, jadi saksi “hidup” kerukunan antar umat beragama yang berlangsung lama. Masjid ini didirikan Sunan Kudus atau Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan tahun 956 H atau 1549 M.
Merujuk inskripsi berbahasa Arab di prasasti batu ukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm pada mihrab masjid. Konon, prasasti batu itu dari Baitul Maqdis di Palestina sehingga masjid ini kerap disebut Masjid Al Aqsa. Sunan Kudus, tokoh penyebar Islam yang tergabung Wali Songo. Dia sebagai ahli agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid, hadis, dan fikih.
Dari 9 wali, beliau bergelar ‘Waliyyul Ilmi’, gelar wali berpengetahuan luas. Nilai toleransi Masjid Kudus beda dengan masjid umumnya. Yang mencolok bangunan menara yang menjulang di tenggara masjid. Menara berkonstruksi susunan batubata merah itu menyerupai bangunan candi khas Jatim.
Ada yang menyebut menara itu mirip Bale Kulkul/bangunan penyimpan kentongan di Bali. Ciri khas ini keunikan Masjid Menara Kudus. Di balik karakteristik Masjid ini tersirat perwujudan sikap “tepa selira” atau tenggang rasa. Sunan Kudus lebih menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi budaya setempat dan menyesuaikan diri demi memasuki masa kejayaan Hindu-Budha.
Denny Nur Hakim, Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) mengatakan, kesohoran Sunan pada kepiawaian melakukan pribumisasi Islam di masyarakat yang berbudaya mapan. “Dalam menyebarkan Islam, Sunan membaur dengan pendekatan budaya. Islam mengajarkan santun dan saling menghormati” katanya pada Kompas.com (30/5/2018).
Toleransi yang diajarkan Sunan Kudus melarang menyembelih sapi untuk dikonsumsi. Sapi ditempatkan di halaman masjid. Langkah itu diharapkan diikuti pengikutnya lantaran sapi dianggap binatang suci umat Hindu. “Itu berlangsung hingga kini. Masyarakat lebih memilih santap daging kerbau” ujar Denny.
Menara tak pernah dirombak, tingginya 18 mt, bagian dasar 10 mt x 10 mt. Menara berhias piring2 berjumlah 32 buah. 20 di antaranya warna biru, berlukis masjid, manusia, unta dan pohon kurma. Sisanya, 12 piring warna merah putih berlukis bunga. Di menara menjulur tangga terbuat dari kayu jati.
“Berarsitektur budaya Hindu Jawa. Ada 3 bagian kaki, badan dan puncak bangunan khas Jawa-Hindu. Juga dihiasi antefiks/hiasan bukit kecil. Ciri konstruksi tradisional Jawa lain pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Pada bagian puncak atap tajug ada mustika seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa” tuturnya.
Saat masjid dirombak abad 20 (tahun 1918), “Menara tak pernah dirombak, tetap utuh sejak awal dan dilestarikan,” ujar Denny. Di dalam masjid ada tiang2 penyangga dari kayu jati. Adopsi budaya Jawa-Hindu terlihat pada regol dua gapura bentar, dipasang di serambi dan di masjid. Di kompleks masjid ada 8 pancuran untuk wudhu. Di atas pancuran itu diletakkan arca.
Jumlah 8 pancuran konon karena keyakinan Buddha : “Delapan Jalan Kebenaran” atau Asta Sanghika Marga. Di belakang masjid, ada makam. Selain makam Sunan Kudus, ada makam ulama dan ada tokoh Panembahan Palembang, Pangeran Pedamaran, dan Panembahan Condro.
“Masjid Menara Kudus ini bukti nyata toleransi antar umat beragama. Sunan Kudus membangun masjid dan menara hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu. Bisa jadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus waktu itu,” pungkasnya.
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com; dengan judul “Masjid Menara Kudus, Saksi “Hidup” Toleransi dari Masa ke Masa (1)”, Penulis : Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho; Editor : Caroline Damanik; Bahan dari : https://regional.kompas.com/read/2018/06/14/08000021/masjid-menara-kudus-saksi-hidup-toleransi-dari-masa-ke-masa-1)-FatchurR *