(republika.co.id)-JAKARTA; Ada aktivitas yang tak pernah ditinggalkan Rasulullah sejak pindah ke Madinah, terutama selama Ramadhan. Amalan itu berfaedah dan hikmah melimpah. Kegiatan adalah beriktikaf di masjid.
Saat Ramadhan terakhir sebelum Rasul wafat, intensitasnya meningkat. Tidak hanya di 10 akhir di bulan suci itu, tapi juga 10 hari pertengahan Ramadhan. Seperti dinukil Imam Bukhari di kitab sahihnya. Pinjam pernyataan seorang tabiin, Syibuddin Az Zuhri, iktikaf yang hukumnya sunah itu, makin dilupakan dan beranjak ditinggalkan oleh umat Islam.
Entah apa penyebabnya, peminatnya kian surut. Meski demikian, upaya penggalakannya kembali di sejumlah masjid di kota2 besar, termasuk Jakarta, patut diapresiasi. Seperti apa kah etika beriktikaf?
Syekh Ahmad Azzauman menguraikan ihwal iktikaf di esainya “Al I’tikaf Hikmatuhu wa Ahkamuhu”, yang memuat adab terkait iktikaf. Pertama yang ia garis bawahi, soal penempatan niat. Niat iktikaf itu unsur utama yang mendasari sah-tidaknya iktikaf. Ini sesuai hadis dari Umar bin Khatab perihal urgensi niat di setiap tindakan.
Unsur penting iktikaf ialah lokasi beriktikaf. Pelaksanaan iktikaf hanya boleh di masjid2 utama. Artinya, masjid2 aktif yang difungsikan untuk shalat jamaah lima waktu atau shalat Jumat. Ini seperti pernyataan Nafi’, tempat iktikaf satu2nya Rasulullah ialah masjid.
Bagaimana iktikaf bagi perempuan? Mereka yang memperoleh izin, baik dari keluarga atau suaminya. Lokasinya tak mesti masjid seperti di atas. Tiap2 masjid bisa dipakai sebagai iktikaf. Ini bukan mushala dalam rumah. Iktikaf tidak boleh di rumah. Ini berlaku di Mazhab Syafii, seperti dikutip Al Baghafi di “Syarh As Sunnah” dan “Nawawi di Al Majmu”.
Waktu
Terkait waktu, Syekh Ahmad menjelaskan hari-hari paling utama ialah 10 hari terakhir Ramadhan. Ini seperti yang ditegaskan riwayat Aisyah. Penekanan waktu pada 10 hari terakhir, karena malam Lailatur Qadar, diprediksikan jatuh di sela hari-hari tersebut.
Mengenai waktu, Ibnu Rusyd di Bidayat Al Mujtahid menjelaskan, iktikaf boleh di langsungkan di semua waktu, siang dan atau malam. Tidak ada batas minimal waktu pelaksanaannya. Sebentar, sudah dikategorikan iktikaf.
Kecuali jika kasusnya nazar. Artinya, waktu pelaksanaannya terikat jika dia bernazar. Misal, ia nazar beriktikaf pada pagi hari. Maka itu, wajib dilakukan di waktu yang ia pilih. Konon, Abdullah bin Umar pernah bernazar malam hari di Masjidil Haram. Rasul memerintahkan ia menepati nazarnya itu.
Terkait iktikaf Ramadhan, jelas Imam Nawawi di kitab “Al Majmu”, pelaksanaannya ada di 10 hari terakhir. Sebelum matahari terbenam di hari ke-20, atau malam 21 Ramadhan. Iktikaf ini hingga terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan.
Kualitas
Agar lebih berkualitas, iktikaf tak hanya dimaknai berdiam diri, tanpa disertai kegiatan positif atau menjaga dari perkara2 negatif. Ibnu Qudamah dalam kitab “Al Mughni” mengemukakan mengisi agar iktikaf berbobot ialah menyempurnakannya dengan bacaan Alquran, zikir, dan shalat-shalat sunah.
Ia sarankan saat beriktikaf menahan diri dari perkataan dan perbuataan tak pantas. Tak menggunjing, berdebat kusir, mengumpat, atau mencaci maki. Meski tidak membatalkan iktikafnya, ini hukumnya makruh dan mengurangi muatan iktikafnya.
Terakhir, Syekh Ahmad menggarisbawahi agar siapa pun yang beriktikaf mengedepankan prioritas. Hukum iktikaf ialah sunah, tetap tidak boleh meninggalkan kewajiban yang utama. Misalnya, jika beriktikaf 10 hari penuh di Ramadhan, sementara ia memiliki tanggungan anak istri untuk dinafkahi, tanggung jawab keluarganya harus diutamakan.
(Red : Agung Sasongko; Bahan dari : Mozaik Republika dan https://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/prwy8c313/agar-iktikaf-lebih-bermakna)-FatchurR *