P2Tel

Pentingnya Design Thinking Saat Merintis Startup

(dailysocial.id; Belajar dari CEO Moselo Richard Fang di #SelasaStartup)- Desain itu bukan bicara  visual : Bentuk, warna, tampilan, mood, dll. Desain itu bagaimana sesuatu bekerja. Ambil contoh misalnya bangku.

 

Penamaan bangku itu bukan karena dari bentuk yang memiliki 4 kaki sebagai penyangga, sehingga disebut bangku, melainkan sengaja dirancang memiliki empat kaki sebagai penyangga untuk mencegah orang yang duduk di atasnya tidak terjatuh.

 

Ini berkaitan bagaimana saat founder berencana merintis startup. Sering founder salah kaprah saat membuat produk, lebih mengutamakan desain daripada fungsi. Karena itu, design thinking adalah proses memecahkan masalah yang menggunakan unsur2 dari toolkit perancang seperti empati dengan fokus pengguna dan percobaan untuk mendapatkan solusi baru.

 

“Empati itu bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Ketika buat bisnis, empati itu penting dan jadi elemen penting saat design thinking,” terang CEO Moselo Richard Fang. Dia adalah marketplace produk kreatif dan handmade.

 

Design thinking menjadi topik utama di #SelasaStartup edisi pekan pertama Mei 2019. Dia memberikan banyak masukan terkait design thinking, termasuk pentingnya empati. Berikut rangkumannya:

 

Ketahui siapa konsumen dan Fokus ke masalahnya

Empati itu memiliki kesan emosional, berbeda dengan simpati. Empati bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Untuk itu, ketika mendirikan sebuah bisnis, empati itu adalah unsur penting dan jadi elemen terpenting dalam design thinking.

 

Agar bisa merasakan empati, founder harus tahu siapa konsumennya. Cukup kontras dengan pola kerja dari makers yang umumnya kurang peduli dengan hal itu. Mereka biasanya lebih memikirkan tampilan, desain, tapi lupa siapa yang akan memakainya. “Lalu fokus ke masalah mereka, bagian apa yang buat mereka ‘sakit’ selama ini. Nah itu kita desain untuk memecahkan masalahnya.”

 

Ciptakan ide dan solusi, lalu berani eksperimen

Berikutnya, founder dituntut menerjemahkan masalah konsumen dengan menciptakan ide dan solusi. Keduanya harus berbasis analisis dan intuisi yang berimbang. Kebanyakan founder mengacuhkan intuisi, sehingga produk mereka jadi berat sebelah karena terlalu banyak basisdata untuk landasannya.

 

Banyak dari mereka yang harus ber-kali2 mengubah bisnis karena kesalahan itu. Padahal, menurutnya, data itu sejatinya hanya sebuah bukti, sehingga tidak bisa benar-benar menjadi solusi. Ketika produk sudah jadi, founder harus berani bereksperimen dan berani menerima kegagalan berkali-kali.

 

“Salah itu enggak apa2, asal habis itu bangkit lagi. Yang jadi masalah itu baru sekali salah berasumsi di awal, sehabis itu langsung down. Kalau salah cari di mana titik kesalahannya, dan tes berulang kali.”

 

Jangan sampai founder sibuk bereksperimen sampai startup tutup karena belum bisa menghasilkan uang. Menurut Richard, sedari awal founder harus mencari revenue. Tak masalah bila sembari tes pasar founder bisa bekerja sampingan agar tetap hidup sehingga tidak harus bergantung pada uang investor saja. (Bahan dari : https://dailysocial.id/post/-memahami-pentingnya-design-thinking-saat-merintis-startup)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version