(unida.gontor.ac.id)-Idul Adha satu dari 2 hari raya Islam. Keduanya dirayakan dengan saling memberi dan menghidangkan makanan; sehingga berpuasa pada waktu itu dilarang. Ada kegembiraan umat Islam. Ada gerakan berdimensi ekonomi-sosial; zakat dan kurban. Ada silaturahim khusyu’ dan haru.
Kedua hari itu, dirayakan berbentuk ibadah komprehensif: individual-sosial, mikro-makro, tidak ada dikotomi kaya-miskin, tua-muda, berpangkat atau tanpa pangkat, semua sholat di satu tempat sama. Mendengarkan pesan dari Allah dan Rasul-Nya oleh khatib. Merenungkan hikmah ilahiyah tiap prosesi ibadah, tenggelam dalam takbir, tahmid dan tahlil dan pujian2 ke sang Khalik.
Umur ibadah kurban setua sejarah manusia. Berkurban itu fitrah manusia bersumber dari periya; dan tidak boleh didasari hawa nafsu. Qabil dan Habil diperintah berkurban. Ada kurban yang diterima, ada pula tidak. Kurban yang diterima pasti kurban yang baik, bermutu, dan ikhlas. Seperti kambing (kabsy) tercinta Habil dari panenan (disebut zuwan atau kuzan) ‘minimalis’ Qabil. (Q.S. al-Maidah 5:27)
Berkurban harus lillahi ta’ala. Karena menjalankan perintahNya. Scara literal, kata ‘kurban’ berarti ‘mendekat’. Kurban ditentukan sebagai ibadah yang fungsinya mendekatkan diri kepada Allah. Bagi yang telah memenuhi kriteria: terlebih mampu sangat dilazimkan berkurban; jika menolak diancam tidak mendekati tempat sholat umat muslim:
Tentang hukum kurban,
Makna hukumnya disepakati ulama sebagai sunnah muakkadah; yaitu sunnah ‘ainiyyah dan sunnah kifayah; sebagaimana hadits Rasul tentang kurban, witir, dan dua raakat fajar:
Generasi selanjutnya, Nabi Ibrahim juga berkurban. Perintah Allah melalui mimpi; ia sembelih putranya, Ismail. Bingung dan sedih; karena akan kehilangan buah hati yang lama dinanti. Keputusan harus diambil. Hati diteguhkan dan dilapangkan. Niat dan tekad dibulatkan:
Beliau bermusyawarah dengan Ismail sang anak. Ismail menyambut niat ayahnya. “Ayahku, kerjakan perintah Allah; engkau akan temukanku sebagai orang sabar”. Kesabaran dan keteguhan kedua manusia ini diuji. Perjalanan ke tempat penyembelihan, iblis menggoda. Agar niat dibatalkan. Agar Ismail diselamatkan. Karena perintah tidak rasional. Tidak humanis. Melanggar HAM.
Niat keduanya – atas Izin Allah – makin kuat. Yakin Kebesaran dan Keadilan Allah. Anak hanya titipan. Hidup sementara. Iblis penggoda dilempari batu. Bukan sekali; tapi tiga kali. Kejadian monumental ini dikenang dan diabadikan sebagai ibadah lempar jumroh 3x : Ula, wustho, dan aqobah:
Keduanya berserah. Pisau ditajamkan. Pelipis sang anak diletakkan di atas landasan. Nabi Ibrahim berusaha menahan segala kasih sayang; berikut memorinya bersama sang anak. Anak pun demikian. Karena niat dan tekad bulat, kata pamitandiucapkan dengan teguh:
Usul agar pisaunya tidak dihadapkan ke arahnya; agar ia tidak takut dan kuat jiwanya; agar mukanya dihadapkan ke landasan sembelih, agar tekad ayahnya tidak melemah mengayun pisau: Keteguhan dan kepasrahan ini diabadikan dalam al-Qur’an.
Sebagai kepasrahan tingkat tinggi dan prima. Taat kepada perintah; meski di luar nalar fikiran manusia. Karena yang memerintah Rabb sekaligus ilah-nya. Saat tangan dikuatkan mengayun pisau, bersamaan dengan dirasakan leher anak yang akan dipotong; pisau yang tajam meluncur. Kuat, pasti, dan disegerakan; agar Ismail tidak menderita.
Tapi yang bersuara kabsy, yakni kambing besar dan mengucur darahnya. Saat itu terdengar “Wahai Ibrahim, Engkau telah membenarkan (mengerjakan) perintah!; demikianlah Kami memberi ganjaran (mengganti Ismail dengan kambing) bagi orang yang berbuat kebaikan”
Nabi Musa pun diperintah berkurban. Kurban sembelihannya sapi; melambangkan sesembahan Bani Israil yang dibuat Samiri. Bukan melaksanakan, mereka ‘ngeles’ (berpaling) secara akademis: ‘sapi yang bagaimana? Warna apa?’. Setelah ditemukan sapi dengan kriterianya; masih ngeles: ‘sapinya masih meragukan; jangan2 bukan sapi ini yang dimaksud! Kira2 perdebatannya.
Ada ketidakikhlasan. Hampir mereka tidak melaksanakan atau dilaksanakan, penuh keberatan. Itu saja dengan mendongkol. Kepada nabi Musa. Yang dianggap menghina ritual persembahan sapi emas mereka. Dan hingga sekarang, bani Israil tidak suka melihat keikhlasan seorang muslim yang berkurban:
Berkurban menekankan latihan ketaqwaan. Mengikhlaskan sebagian harta demi umat. Menyembelih egoisme dan ketamakan. Memotong kuasa setan dalam aliran darah manusia; yang secara simbolis dilambangkan dengan memotong hewan. Yang terpenting, semua bernilai ibadah; sosial dan individual. Utamanya, yang diterima Allah dari kurban itu ketaqwaan; bukan darah atau dagingnya.
Ketaqwaan berbentuk totalitas berkurban. Totalitasnya dicerminkan memenuhi standar berkurban; yang dikenal sebagai rukun dan syarat kurban, juga syarat hewan yang layak. Yang berkurban : muslim / muslimah, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan tidak terlilit kesulitan hutang yang sulit dibayar.
Hewan kurban ditentukan kategorinya; yakni memamah biak (mujtarrah) dan menyusui; yakni dari jenis kambing (ma’z), domba/biri-biri (dha’n), sapi (baqarah), kerbau (jamus) dan unta (ibil). Keseluruhan hewan itu harus berusia yang diijinkan disembelih, yakni 6 bulan minimal untuk domba/biri-biri, 1 tahun untuk kambing, 2 tahun untuk sapi, dan 5 tahun untuk unta:
Ketentuan waktunya usai sholat ‘Id, ditambah 3 hari setelahnya (hari tasyrik) hingga genap 4 hari. Karakteristik dan kepemilikan hewan turut diperhatikan. Hewan kurban harus milik sendiri, atau seizin pemilik hewan yang mewakilkan, tidak cacat (salim minal ‘aib) mata, pincang, kurus, atau berpenyakit: Untuk hewan semacam sapi dan unta boleh dengan urunan hingga 7 orang:
Menyembelih harus menyebut nama Allah; jika tidak maka haram. Ada sunnahnya : memotong bagian tenggorokan. Dengan pisau tajam, dilakukan dengan tempo singkat, dihadapkan ke kiblat. Cara penyembelihan sesuai syariah terbukti tidak menyakiti hewan.
Kurban sebagai ibadah; dimensinya menyeluruh. Ada keteladanan, pedagogi pendidikan keikhlasan, aspek peningkatan interaksi sosial. Ada prospek pengembangan ekonomi hewan kurban, gotong-royong dan keakraban sosial. Saling membantu ‘menaklukan’ sapi; menguliti hewan, menimbang, membagi, menyiapkan makanan bagi ibadah sosial yang amat mulia ini.
Ada motivasi berternak dengan baik. Hingga berfikir tentang ‘pertanian dan peternakan terpadu’. Ada perkembangan ilmu peternakan; guna menghasilkan hewan kurban bemutu. Ada ilmu kebersihan daging dan memasak secara higienis. Ada usaha daging halal.
(Cuplikan Khutbah Idul Adha 2019 ini ditulis Muhammad Taqiyuddin, Dosen Universitas Darussalam Gontor. Khutbah Idul Adha 2019 ini mengangkat tema hikmah dari sejarah dan prosesi Idul Adha Bahan dari : https://unida.gontor.ac.id/khutbah-idul-adha-2019/)-FatchurR *