(entrepreneur.bisnis.com)-“Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang lawan menjadi kawan.” (Martin Luther King Jr)”
Fenomena reuni di grup2 sekolah, grup2 kota asal atau reuni angkatan rupa2 institusi jadi tren.
Mungkin jadi tradisi dan layak dipuji. Bertemu-bersilaturahmi antar kawan, antar kerabat, antar saudara. Mereka bersilaturahmi dari beraneka ragam suku, agama, pendidikan dll. Suatu perkawanan atau persahabatan itu kebajikan dan positif. Apalagi bila tanpa embel2 beda suku, agama, ras dan golongan.
Di FB teman saya, ditayangkan video orang Selandia Baru bergandeng tangan di dalam masjid, menjaga Muslim yang salat. Mereka menunjukkan pesan kebersamaan: “Kami bersamamu, bukan musuhmu, kami tidak memusuhimu.” Salah satu yang menyaksikan video itu berkomentar, “Kok, kafir di sana bisa begitu, ya? Kafir di Indonesia ini dengar suara azan saja sudah mendidih.”
Jawab Kawan saya, “Tak ada yang mendidih, itu fantasimu. Kamu berkhayal tentang kafir memusuhimu. Kamu gak tahu hal2 yang mereka lakukan, atau tidak dilakukan. Kamu saja memusuhinya.” Ada banyak non Islam yang berteman denganku atau saling kenal. Tak pernah saya temukan yang benci-memusuhi karena mereka Islam. Orang2 benci dan memusuhi karena masalah lain, bukan karena Islamnya.
Kebencian-permusuhan itu di mana2, dan tak banyak. Kalau banyak, kita tak hidup tenang. Mungkin ada yang ‘merasakan’, men-duga2, berwasangka banyak permusuhan dari non Islam. Cobalah bercermin. Sikap orang pada Anda dipengaruhi sikap Anda pada mereka. Kalau sering lihat ada permusuhan, boleh jadi karena Anda menebar permusuhan. Kalau Anda baik, orang lain juga akan baik kepada Anda.
Banyak kisah indah persahabatan lintas agama, di hidup kita dan dari pengalaman orang. Mustahil ada kesimpulan mereka memusuhi kita. Tapi ada golongan orang2 melihat fakta, dengar fakta, mengalami fakta, tapi tetap yakin hal berbeda. Ia melihat keramahan nonmuslim, mendengar kebaikan mereka, dan mengalami hubungan akrab dengan mereka, tapi tetap yakin bahwa nonmuslim itu memusuhi.
Dalam hidup ini, alangkah indah, nyaman, tenteram dan damai jika kita punya hanya kawan. Tak memiliki lawan/musuh. Semua orang kawan. Tapi kondisi ini nonsense, kemustahilan, ilusi kesempurnaan. “Seorang bijak berharap tak akan jadi lawan siapapun; seorang yang bijak berharap tak akan jadi korban dari siapapun,” kata Maya Angelou, pejuang HAM dan penyanyi.
Satu lawan cukup, seribu kawan kurang. Namun tetap kodrati, tak seorangpun ingin jadi korban dari tindakan (jahat) orang lain. Mempraktikkan dalil di atas, berkawan dengan banyak orang, apapun latar belakang mereka, dan sama sekali tak memiliki musuh, bukanlah suatu urusan mudah.
Memaafkan musuh
Tak terhindar kadang kita harus mendapat musuh. “Anda memiliki banyak lawan? Baguslah. Itu artinya Anda memiliki prinsip teguh atas suatu hal, sesekali dalam kehidupan Anda,” kata Winston Churchill.
Dan secara alamiah ada kecenderungan, “Lebih mudah memaafkan musuh dari pada memaafkan kawan” kata William Blake, penulis dan pelukis Inggris abad 17. Bisa kita pahami, namanya saja musuh. Ia adalah orang yang berlawanan dengan kita. Ia tak segan-segan, secara kasat mata, akan menghantam kita. Kita sadar akan bahaya musuh itu.
Tapi, kalau kita tiba2 dihantam kawan, atas suatu alasan tertentu, pasti kita kaget. Pasti kita tak menyangka terjadi kejadian ini. Pasti kita akan lebih merasakan sakit karena dihantam oleh orang yang kita percayai sebagai kawan.
Pendapat William Blake di atas, diteguhkan oleh Don Corleone dalam film Godfather, yang dimainkan oleh Marlon Brando, “Dekatlah dengan kawan2mu. Tapi lebih dekatlah dengan musuh2mu.”
Nasihat ini berkorelasi dengan situasi di atas. Kita percaya kawa2n kita, sebagaimana pandangan positif Corleone. Kita tak akan menghantam kawan. Kita juga tidak berharap dihantam kawan. Tapi Corleone juga mengingatkan hal penting, kita juga harus lebih tahu atas hal-hal seputar musuh kita.
Demikianlah, hidup sungguh akan lebih nyaman dijalani bagi orang2 sukses menerapkan falsafah “satu orang musuh lebih dari cukup, seribu kawan itu kurang.” Karena, “Ingatlah, barang antik paling bernilai adalah kawan-kawan lama tercinta,” kata H. Jackson Brown Junior, penulis terkemuka AS.
Karena “Berjalan bersama kawan di kegelapan itu lebih baik dari jalan sendiri di suasana terang” kata Helen Keller, penulis dan aktivis politik tuna rungu dan tuna netra. “Hal2 apapun tak pernah menakutkan jika Anda punya kawan sejati,” kata Bill Watterson, kartunis. Dan, “Kawan sejati, itu yang memperlihatkan kasih sayang di masa susah, bukan di masa gembira,” kata Euripides, artis teater Yunani Kuno.
Dengan banyak kawan, kita menikmati hidup lebih nyaman, tenteram-damai. Kita lebih berbahagia. Sesuai kodrat hidup, kita tak mungkin steril dari lawan. Hanya perlu kiat tepat agar prinsip tiada musuh itu terjaga baik. Nasihat China kuno ini layak kita camkan, “Seni terhebat peperangan itu menaklukkan lawan tanpa pertarungan,” Sun Tzu, jenderal tentara, ahli strategi militer dan filsuf China kuno.
Itu advis mulia, agar di pergulatan hidup ini kita mampu bertahan, tanpa melakukan kekerasan2 yang tak layak dilakukan. Dalam agama apapun, kekerasan bukan hal dianjurkan. “Cinta satu2nya kekuatan yang mampu mengubah seorang lawan menjadi kawan,” kata Martin Luther King Jr, pejuang HAM.
Cinta dalam artian kasih sayang tulus kepada sesama, siapapun itu orangnya, sekali lagi, tanpa membeda-bedakan asal-usul dan latar belakang, adalah bekal pokok dalam berhubungan dan bergaul sebagai mahluk sosial, dalam prinsip “satu lawan cukup, seribu kawan kurang.”
Dan sebagai pembelajaran dalam hidup kita agar kita tak terantuk batu yang sama kedua kali, dalam mengarungi hidup ini, nasihat John F. Kennedy ini layak kita catat baik-baik, “Maafkan lawan-lawanmu, tapi jangan pernah lupakan nama-namanya.”
Pongki Pamungkas; Bahan dari : https://entrepreneur.bisnis.com/read/20190405/52/908468/manajemen-konflik-satu-lawan-cukup-seribu-kawan-kurang)-FatchurR *