(syahrial.web.id)-Jam 7.30 WIB, saya berangkat ke kampus naik MRT Tujuan Lebak Bulus-Bundaran HI. Selanjutnya biasa naik gojek ke UI Salemba. Pagi ini saya ada 3 agenda; menerima wawancara dengan Harian Nasional terkait isu masa depan Turkey dan Moderatisme Arab Saudi di 8.30 WIB.
Menerima deputy International Committee of the Red Cross pada 9.30 dan memimpin rapat dosen Kajian Ilmu Kepolisian, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, UI (KIK SKSG UI) dan pelatihan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) pukul 10.00. Saya tidak membahas 3 agenda itu. Sharing saya lesson yang sayang dilewatkan. Tiba di stasiun MRT Lebak Bulus, tak perlu lama menunggu barisan besi tiba.
Seperti biasa saya ambil posisi favorit, terdekat dgn pintu menyandar di partisi. Menurut pujangga Pondok Labu, tertidur bersandar di partisi MRT tak kalah saing bermalam di Kempinsky. Syahdan, perjalanan MRT ini luar biasa. Di depan saya duduk Ibu kisaran(60). Pakaiannya kumel dan rambutnya tidak rapih. Biasanya setiap penumpang berharap dapat duduk.
Tapi 3 kursi di samping ibu tadi tak mau orang ambil. Kenapa? Apakah karena penampilan atau apa?. Untuk menghilangkan penasaran, saya pindah posisi lalu duduk di samping Ibu tadi. Ada semerbak tak sedap. Belum lagi si Ibu ini bawa bungkusan makanan dan tas berat. Pelan saya tanya ke beliau, “Ibu dari mana? Jawabnya dengan dialek medok jawanya, saya dari Semarang.
Lalu saya tanya lagi, Ibu mau kemana? “Ibu mau ke Salemba ke anak Ibu yang ambil spesialis di FKUI. Saya berkata dalam hati, Subhanallah, Luar biasa. Penampilan tak menyimpulkan kualitas. Ibu tiba semalam di Kampung Rambutan jam 24. Karena capek betul, ibu tidur di terminal. Ketika bangun jam 02.00 pagi uang Ibu tak lagi di saku. Ibu hanya bisa istighfar dan mohon ampun kepada Allah, nak.
Mumpung masih gelap, Ibu sengaja jalan kaki dari Terminal Kampung Rambutan ke MRT Lebak Bulus ini. Saya tanya ke beliau, kenapa Ibu tidak pakai uang yang 100 ribu itu naik taksi. Jawab beliau, “kalau ibu gunakan, ibu Khawatir nanti tidak bisa sedekah. Uang 100 ribu ini, Ibu gunakan beli nasi dan lauk pauk ala kadarnya. Ya alhamdulillah dapat 7 bungkus nasi. Nasi2 itu buat siapa? Buat ibu dan anak Ibu?
Bukan. Nasi ini akan ibu bagikan ke tukang bersih2. Tadi di MRT Lebak Bulus, Ibu ndak dapatkan mereka. Ibu berdoa, semoga di MRT Bundaran HI ada tukang bersih2 yang mau sedekah Ibu. Mendengar jawaban itu, saya menangis. Ya Rabb, malu betul saya pada ibu ini. Uangnya dicuri, tapi ingin memberi. Sedang Muta’ali, jangankan sedikit apalagi dicuri, banyak pun ingin terus diberi bukan memberi.
Pukul 8.00 kami sampai di MRT HI. Saya berkata ke Ibu tadi. Bu, bolehkah saya bantu membagikan nasi2 itu ke cleaning service? Ndak usah merepotkan, Nak. Tidak Ibu, saya bersyukur dipertemukan Allah dengan Ibu. Awalnya mau naik gojek, saya ganti naik grabcar ke Salemba bareng Ibu tadi. Kosan putranya tak jauh dari UI. Sebelum berpisah, ” Ibu siapa namanya, “Dijah, jawabnya. Mungkin Khadijah.
Abraham Maslow pakar motivasi mengatakan, level terendah seseorang saat berkutat pada materi dan level tertinginya ingin dihargai dan ingin dipuji. Bu Dijah, bukan keluar dari level terendah. Saat uangnya dicuri sisanya disedekahkan. Ia jalan kaki dari kampung Rambutan ke Stasiun MRT. Bu Dijah tak butuh penghargaan. Penampilannya kumel tak sedap nir wangi. Hingga beberapa penumpang menghindarinya.
Banyak yang baik rupa, tapi enggan memberi. Padahal kemuliaan bukan penilaian sesama, ia tak lain adalah hak prerogatif pencipta alam semesta. Bu Dijah bagi saya orang terkaya. Tak punya bahkan dicuri masih memberi. Banyak orang kaya, serba ada, tapi selalu mengepalkan jari selalu ingin diberi. Siapa yang kaya sebenarnya?
(Abdul Muta’ali; Ditulis Perjalanan Pulang MRT HI-Lebak Bulus, 25 Juli 2019; Bahan dari : http://syahrial.web.id/kisah-seorang-kaya-sejati/)-FatchurR *