(food.detik.com)-BANYUWANGI; Festival Ngopi Sepuluh Ewu kembali menyedot animo ribuan orang datang ke Desa Adat Kemiren, Banyuwangi. Ngopipun jadi pelestarian tradisi. Festival Ngopi Sepuluh Ribu ini digelar lagi tahun ini.
Tradisi ngopi di Desa Kemiren tak sebatas menikmati seduhan biji kopi. Ada filosofis terkandung dalam tiap cangkirnya. Dengan secangkir kopi, bisa menyatukan perbedaan. Serta merekatkan persaudaraan. Berbagai pengunjung tua, muda dari berbagai daerah, memadati jalan sepanjang 3 Km poros jalan desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Sabtu malam (12/10/2019).
Festival Ngopi ini dihadiri Akmal Malik, Dirjen Otda Kemendagri. Akmal erkesan dengan festival yang digelar warga Kemiren secara swadaya. “Di Banyuwangi ini terasa keguyuban warganya. Mulai Gandrung Sewu hingga Festival Ngopi warga goyong royong memajukan daerahnya lewat atraksinya. Pancasila hadir sesungguhnya di Banyuwangi ini,” puji Akmal.
Festival Ngopi Sewu digelar swadaya warga Desa Kemiren. Ini sebagai bentuk penghormatan warga pada pengunjung dengan menyuguhkan kopi yang jadi budaya warga Kemiren. Untuk mempersiapkan 10 ribu cangkir kopi, warga Kemiren menyiapkan tak kurang dari 350 Kg bubuk kopi khas Banyuwangi. Ada beragam varian. Mulai arabica, robusta hingga house bland.
“Spirit ini perlu dicontoh daerah lain untuk membangun daerahnya,” kata Akmal. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas juga mengapresiasi kegiatan ini, yang merupakan bagian dari kegotongroyongan. Semuanya disiapkan dan dirancang warga Kemiren. Partisipasi publik yang tinggi mempersiapkan festival ini, bisa mendongkrak berbagai sektor lain. Terutama ekonomi kreatif yang bergeliat di desa ini.
“Ini cara mengundang orang ke sini. Yang datang ke Kemiren desa wisata ini, penting menggerakkan sektor ekonomi kreatif yang tumbuh. Seperti kuliner, batik, seni pertunjukan hingga penginapan,” ujar Anas. Sesepuh adat Desa Kemiren, Suhailik menjelaskan warga Kemiren memiliki falsafah lungguh, suguh dan gupuh dalam menghormati. Ngopi Sepuluh Ewu itu falsafah yang dipegang warga.
Lungguh, papar Suhailik, itu menyiapkan tempat. Sedang ‘suguh’ ini menyajikan hidangan. ‘Gupuh’ itu kesigapan tuan rumah menyambut tamu. “Kita siapkan tempat duduk di teras warga sebagai bagian dari ‘lungguh’. Kita juga siapkan kopi dan beragam jajanan tradisional sebagai ‘suguh’. Serta kita berupaya melayani terbaik sebagai bentuk dari ‘gupuh’ kita,” ujarnya.
Di tengah ribuan pengunjung dari berbagai kota, hadir pula Bupati Gresik Sambari Halim, hingga musisi Indra Lesmana. Mereka berbaur bersama masyarakat menikmati seduhan kopi Banyuwangi.Dia harap hadirnya ribuan wisatawan ini, bisa jadi saudara bagi warga kemiren.
“Dengan ngopi bareng, kami ingin mereka menjadi saudara kami. Karena semboyan kami, Sak Corot Dadi Sakduluran – Menyeduh Bersama maka Kita Bersaudara” pungkasnya.
Acara yang sudah memasuki tahun ke-7 ini, tak ubahnya jadi lebarannya para pecinta kopi Banyuwangi.
“Kalau sekadar mau ngopi khas Banyuwangi, banyak kok cafe yang menyediakannya. Tapi, beda dengan ngopi di sini,” ujar Umam, salah satu pengunjung asal Surabaya yang mengaku sudah tiga tahun terakhir datang di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini.
“Ini seperti lebaran. Kita bisa bersilaturahmi. Bertemu dengan teman-teman sesama pecinta kopi. Ngobrol macem-macem. Melepas kangen,” imbuh lelaki yang pernah KKN di Banyuwangi saat kuliah itu.
(odi/odi; Ardian Fanani; Bahan dari : https://food.detik.com/berita-boga/d-4744045/festival-ngopi-sepuluh-ewu-banyuwangi-ngopi-dengan-3-filosofi?tag_from=wpm_nhl_25)-FatchurR *