Kerajaan Sriwijaya Di Palembang Tak Terbantahkan
(m.merdeka.com)-Dalam prasasti Kedukan Bukit, Dapunta Hyang mendirikan perkampungan yang dinamai Sriwijaya pada 16/6/682. Prasasti ini jadi akta kelahiran Kerajaan Sriwijaya.
Arkeolog Bambang Budi Utomo menyebut, perkembangan Palembang sebagai pusat pemerintahan Sriwijaya lebih masuk akal dengan banyak faktor pertimbangan. Seperti jaringan komunikasi dan kegiatan lalu-lintas, tukar-menukar informasi dan bahan dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dahulu dan berhasil mendorong manusia setempat untuk maju.
Lokasi Palembang di muara sungai Kramasan, Ogan, dan Komering, menjadikan Palembang sebagai pasar memasarkan komoditi perdagangan dari daerah pedalaman. Lewat sungai-sungai itu komoditi perdagangan dibawa ke Palembang
Setelah nama Sriwijaya muncul sebagai nama kerajaan maritim yang lahir dan berkembang b di abad ke-7 hingga 12 Masehi, banyak pakar sejarah dan arkeologi intensif meneliti daerah yang diduga kuat bekas wilayahnya. Hasil penelitian para ilmuwan ini menyimpulkan bahwa wilayahnya terutama terletak di pantai timur Sumatera dan menguasai Selat Malaka.
“Pusat pemerintahan pada awalnya terletak di Palembang pada abad ke-7 sampai 10 Masehi. Kemudian berpindah ke daerah Jambi pada abad ke-12 Masehi,” ujarnya.
Sebagian sejarahwan dan purbakalawan menduga pusat Sriwijaya ada di Palembang dan sebagian lagi mensinyalir ada di Jambi. Pendapat serjana-sarjana ini tentu dianut oleh masyarakat setempat yang fanatik kedaerahan.
“Masing-masing ngotot, tapi pendapat mereka benar semua, tapi harus disebutkan kronologisnya. Sriwijaya berdiri di Palembang pada tanggal 16/6/682 hingga abad ke-10 lokasinya ada di Palembang dan setelah abad ke-10 sampai masa keruntuhannya abad ke-13 berada di Jambi,” ujarnya.
Perkiraan luas Kerajaan Sriwijaya
Belum diketahui pasti luas wilayah Sriwijaya. Namun berdasar peninggalan budayanya di Palembang, bentuk, peruntukkan dan luas kotanya dapat direkonstruksi. Lokasi permukiman penduduk Kota Sriwijaya dengan indikator pecahan-pecahan keramik dan tembikar, tiang-tiang kayu sisa rumah kolong, sisa industri, dan sisa barang keperluan harian ada di daerah yang rendah sepanjang tepian utara Musi.
Di tempat agak tinggi di Palembang, ada sisa tempat kegiatan upacara keagamaan dengan indikatornya berupa sisa bangunan bata, arca batu dan logam, manik-manik kaca dan batu, dan barang keperluan upacara religi. Sisa bangunan suci mengelompok di beberapa tempat agak jauh dari tepian sungai Musi.
Masyarakatnya telah mengenal stratifikasi sosial, telah mengadakan perdagangan jarak jauh, telah mengenal pencatatan atau administrasi, dan adanya bangunan fasilitas umum.
Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan di Talang Kelapa, Palembang, Dapunta Hyang juga merancang pembangunan taman dengan nama Taman Sriksetra pada tanggal 23/3/684 M. Di dalam taman tersebut terdapat beragam jenis tanaman yang semuanya diperuntukkan bagi makhluk hidup. “Pada abad ke-7-8 Masehi, berdasarkan tinggalan budayanya, Sriwijaya dapat dikatakan sebuah kota,” kata dia.
Prasasti Telaga Batu itu bukti di Kota Sriwijaya tinggal para pejabat kerajaan, panglima tentara, para penegak hukum, saudagar, para tukang/pengrajin sampai para tukang cuci kerajaan yang disumpah oleh Datu Sriwijaya.
Setelah Sriwijaya mundur dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Jambi pada abad ke-13 Masehi, beberapa abad kemudian (abad ke-15) di Palembang terjadi masa kekosongan pemerintahan. Berbagai penguasa lain menduduki Palembang, misalnya Majapahit pada abad ke-14 hingga 15 Masehi.
“Abad ke-15 Palembang diduduki bajak laut Chen Zuyi dari Nanhai sampai akhirnya lahir Kerajaan Palembang-Islam (protektorat Mataram) dan terakhir Kesultanan Palembang Darussalam,” tukasnya.
(mdk/cob; Irwanto; Bahan dari : https://m.merdeka.com/peristiwa/pusat-kerajaan-sriwijaya-di-palembang-tak-terbantahkan.html)-FatchurR *