(kompasiana.com)- Kabar baik dan kabar kurang baik (untuk tidak sebut kabar buruk). Anda lebih menyukai kabar yang mana? Rasanya, ada banyak orang yang lebih menyukai kabar baik. Meski, sejatinya, dua kabar tersebut sama-sama ada manfaatnya.
Kabar baik untuk memotivasi kita agar jadi lebih baik. Kabar untuk memperingatkan kita agar lebih mawas diri. Bahkan, kabar buruk bisa jadi “cermin” agar kita ambil pelajaran dari yang telah terjadi.
Dalam situasi pandemi Covid-19 dan derasnya arus info yang berseliweran di media daring, di medsos, saya kini lebih merindukan kabar baik. Sebab, ada banyak hoaks yang dengan mudah wara-wiri di grup WA. Ya, saya rindu mendapat kabar bagus. Seperti kapan hari, saya tiba-tiba dapat kiriman pesan broadcast di WA. Pesan yang menggugah semangat. Bunyinya begini:
Sepupu saya yg kuliah di Cina kirim email ke saya dan ngomong begini : “Disini (wuhan) kami cepat bangkit (recovery), karena kami saling menyemangati. Tidak memberitakan kematian, kami beritakan kehidupan dan berita kesembuhan. Tapi kenapa netizen di Indo lebih memilih memberitakan ketakutan? Apakah mereka ingin membunuh saudaranya sendiri?”
Bisakah mulai saat ini kita hanya memberitakan hal yang penuh harapan, berita menenangkan, berita kehidupan. Bisakah kita membantu tim medis yang sudah lelah, untuk berhenti membuat postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panic. Bisakah?
Kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat. Jangan buat mereka khawatir, sehingga terus menerus berbondong bondong ke RS dan makin membuat lelah tim medis kita. Bisakah? Saya yakin, pesan broadcast itu sampai ke mana-mana. Sampean mungkin juga dapat broadcast itu dan sudah membacanya.
Jika kita baca substansinya, pesan broadcast itu ditujukan untuk kita. Netizen yang tinggal meneruskan pesan. Pesan resmi perihal perkembangan terbaru Covid-19 yang dirilis pemerintah pusat dan pemda melalui info “satu pintu”. Hingga pesan entah dibuat siapa dan tidak jelas kebenarannya.
Atau, tinggal comot tautan berita dari media daring lantas membagikannya ke grup WA yang diikuti. Entah media daring itu kredibel atau tidak. Pokoknya dari media. Warganet bisa pilih. Menahan info itu-karena belum jelas kebenarannya– untuk dirinya dan keluarganya sekadar sebagai info.
“Bad News is good news” kini jadi milik netizen
Dulu, di jurnalistik, ada slogan populer bagi wartawan. Bunyinya “bad news is good news” dan “good news is bad news”. Maknanya, kabar buruk itu berita bagus. Dan kabar bagus justru jadi berita buruk. Terjemahan begini. Semisal kota diguyur hujan deras berjam-jam. Bila kota itu tidak banjir, hanya sedikit tergenang, dan cepat surutnya, oleh sebagian awak media, itu akan dianggap berita kurang bagus.
Bila hujan deras menyebabkan banjir, media menganggapnya berita bagus. Saking bagusnya, bisa dikemas jadi angle berita, dibuat berseri. Istilahnya, di-running. Contoh ekstrem, bila ada kecelakaan tunggal dan korbannya luka ringan, itu tidak dianggap berita bagus. Lain bila kecelakaan karambol yang menyebabkan beberapa mobil tabrakan beruntun dan banyak korban, itu dianggap berita bagus.
Kok dulu? Sebab, kini, beberapa media mulai meninggalkan prinsip bad news is good news dan good news is bad news itu. Media mulai meneguhkan prinsip good news is good news. Berita bagus ya berita bagus. Hanya, saat media “berubah baik”, prinsip lawas bad news is good news” itu kini malah diwarisi warganet. Mereka meski tidak memiliki bekal keilmuan jurnalistik, tapi merasa menjadi wartawan.
Warga di dunia maya kini banyak yang berlomba membagi info pesan broadcast atau “pesan forward-an” ke grup WA. Berlomba jadi yang pertama membagikan pesan itu. Ironisnya, mereka tak paham pesaan itu benar atau ngawur. Apakah sumbernya valid atau asal-asalan. Mereka tak berpikir, dampak dari pesan yang mereka bagikan tersebut.
Tahan dulu, cek kebenaran informasi, baru sharing
Suasana corona sekarang, Atas nama yang penting berbagi info, beberapa orang tidak berpikir panjang. Mereka tak tahu atau gak mau tahu bila hasil sharing infonya, menyebabkan kekhawatiran masyarakat.
Repotnya, ketika ditanya perihal kebenaran info yang bikin panik, mereka jawab “saya dapat dari grup sebelah”. Hanya setipis itu bentuk tanggung jawabnya. Seperti di grup WA yang saya ikuti, ada yang membagikan info “virus corona sembuh dengan semangkuk air bawang putih yang baru direbus”.
Ada yang meneruskan kabar vaksin virus corona siap. Pesannya: vaksin ini mampu menyembuhkan dalam 3 jam setelah injeksi. Angkat topi untuk ilmuwan AS. Dua kabar itu memicu perdebatan di grup WA. Ada yang memberi tanda jempol. Ada yang bersuara keras menyebut itu hoaks lantas memberi kabar pembandingnya. Bahwa hanya test kit, produk Korsel, AS masih tahap pengembangan.
Lantas, ada yang menimpali dengan kalimat agar dalam situasi ini, dimohon pengertian membagikan info yang fact saja, bukan yang fake agar tidak menimbulkan kegelisahan dan kesalahpahaman.
“Mbok sebelum share, teliti kebenarannya, cari fakta. Jangan asal sar ser,” ujar seorang warga. Dulu, beredar kabar ada pasien di beberapa kota baru pulang dari luar negeri dan dikabarkan positif Covid-19. Padahal, itu bohong. Juga kabar di medos bila ada pasar akan ditutup untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Padahal, belum ada info dari pemda di wilayah itu.
Kiranya benar aparat Polri mengamankan warganet penyebar hoaks tentang corona. Itu jadi peringatan bagi warganet lain agar tidak sembarangan membagikan info corona. Terlebih dalam situasi seperti ini.
Jadi pembagi informasi yang cerdas, jangan membagikan kepanikan
Berkorelasi dengan pesan WA di awal tulisan ini, saatnya kita jadi pembagi info cerdas. Pembagi yang tidak sekadar membagikan pesan, tapi juga membagikan kabar optimisme. Bukan semata kepanikan.
Semisal bila terima pesan broadcast di grup WA tentang orang yang mendadak wafat di jalanan ketika berkendara di wilayah tempat tinggal kita. Lantas, orang itu dikaitkan dengan virus corona. Padahal, itu baru dugaan. Malah ditambahi kalimat dramatis “hati-hati mengalami kejadian seperti orang ini”
Bila dapat seperti itu, jangan teruskan (mem-forward) ke grup lain. Bukan hanya info saja yang dugaan. Namun, info semacam ini bisa menyebabkan kepanikan. Terlebih bagi orang yang dasarnya paranoid dengan situasi yang ada. Apalagi bila info itu terus saja dibagikan ke grup WA lain. Bisa dibayangkan kepanikan massal yang muncul di masyarakat hanya karena kiriman broadcast seperti itu.
Padahal, bila boleh bertanya, apa sih motivasinya mengirim pesan broadcast yang gak jelas itu? Apa iya karena ingin dianggap yang paling cepat tahu segalanya, tapi malah menomorduakan kebenaran.
Kalau ingin berbagi, harusnya dicek dulu pesan itu benar. Bila belum tahu benar/salah, mbok ya ditahan dulu (jangan disebarkan). Sebab, bila bohong, apa iya masih senang bila ‘julukan paling tahu’ itu diubah jadi penebar kabar bohong. Akhirnya, kabar bagus (benar) yang memotivasi orang jadi lebih baik, bila dibagikan dan diikuti banyak orang, itu akan jadi sedekah pahala kebaikan bagi penyebar informasi.
Semisal ketika membagikan info tentang tips penting mencegah Covid-19, tips cara mencuci tangan yang benar, hingga mengabarkan bila ada pasien positif corona yang akhirnya sembuh. Bukankah kabar seperti itu tidak hanya informatif, tapi juga bermanfaat bagi yang membacanya.
Sebaliknya, bila kabar ngawur dibagikan, kabar yang membohongi dan malah menyebabkan kepanikan bagi yang membacanya, bila terus dibagikan ke banyak grup WA, tentunya jadi “dosa jariyah bagi si penebar informasi. Pilih mana? Ya, menuliskan kembali tulisan WA di awal tulisan ini:
Bisakah mulai saat ini kita hanya memberitakan yang penuh harapan, berita yang menenangkan, berita kehidupan. bisakah kita membantu tim medis yang sudah lelah, untuk berhenti membuat postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panik. Bisakah?
Tahukah bahwa kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat. Jangan buat mereka khawatir, sehingga terus berbondong bondong ke RS dan makin membuat lelah tim medis kita. Bisakah?
(Hadi Santoso; Bahan dari : https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/5e7befcfd541df5057734ae2/mengabarkan-kabar-baik-di-tengah-badai-corona-bisakah)-FatchurR *