(beritasatu.com)- Lembaga Adat Baduy membantah berkirim surat ke Presiden Joko Widodo untuk minta kawasan Baduy dihapus dari peta destinasi wisata. Lembaga Adat Baduy hanya minta mengganti istilah wisata Baduy dengan Saba Budaya Baduy.
Tokoh adat Baduy menegaskan surat yang dikirim ke Presiden dan ramai di media tidak mewakili Lembaga Adat Baduy. Karena, Lembaga ini tidak pernah memberi kuasa ke siapa pun untuk mengirim surat ke Presiden. Hal itu terungkap dalam Musyarawah Lembaga Adat Baduy, di Kampung Kaduketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, (18/7/20).
Musyawarah adat ini dihadiri pejabat Lembaga Adat Baduy. Dari Baduy Dalam hadir Jaro Tangtu: Jaro Alim (Cikeusik), Jaro Sami (Cibeo), Jaro Damin (Cikartawana), Barisan Salapan, Tangkesan, Jaro Tanggungan 12, Jaro Tujuh, Jaro Dangka, Jaro Pamarentah, Panggiwa, dan Kokolot Kampung/Lembur.
Lembaga ini mengundang pihak luar, yakni Kasi Pengembangan SDM Dispar Banten, Rohendi dan Pendamping Komunitas Adat Baduy, Uday Suhada. Musyawarah membahas surat ke Presiden, bahwa itu bukan kuasa dari lembaga adat.
Lalu membahas permohonan maaf dari Antiwin, warga Baduy yang membantu Heru dan kawan-kawan (pihak yang mengklaim mendapat mandat dari Lembaga Adat Baduy). Keputusannya, Lembaga Adat Baduy menerima permohonan maaf ini.
Musyawarah dilanjutkan membahas masalah yang dihadapi masyarakat adat Baduy. Uday Suhada pendamping komunitas adat Baduy mengatakan persoalan yang dihadapi masyarakat adat Baduy ada lima:
Pertama, Lembaga Adat Baduy menolak istilah wisata dan menggantinya dengan Saba Budaya Baduy.
Kedua, Perdes No. 1/2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy) harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Ketiga, Lembaga Adat Baduy ingin mengajukan permohonan ke Pemerintah Pusat untuk membantu menyediakan lahan buffer zone (penyangga) agar hutan adat atau Leuweung Kolot lebih terjaga dari tangan yang merusak hutan.
Keempat, Lembaga Adat minta ke Pemerintah Pusat dan daerah untuk memberi hak warga Baduy Luar agar kolom agama di KTP dituliskan Sunda Wiwitan.
Kelima, Lembaga Adat Baduy minta agar aparat penegak hukum menegakkan hukum dan menindak siapa saja yang melanggar terhadap hukum adat Baduy.
“Saya sampaikan pertanyaan ke pemangku adat Baduy, apakah dibolehkan dibentuk lembaga atau institusi Pusat Informasi Baduy (PIB). Alhamdulillah jawabannya boleh. Lembaga adat menyambut baik konsep itu,” ujar Uday. Menurut Uday, PIB diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan Lembaga Adat Baduy, kepentingan Pemerintah Pusat dan daerah, serta kepentingan pihak lain.
“Salah satunya menertibkan tour guide atau pemandu wisata yang membawa tamu ke Baduy. Mereka harus dibekali kemampuan dan pengetahuan perihal aturan tentang Saba Budaya Baduy,” ujar Uday.
Musyawarah Lembaga Adat Baduy dilanjutkan bersama Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya; Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hari Santosa; Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) mewakili KLHK Munawir; Kapolres Lebak AKBP Firman Andreanto; Asda II Lebak Budi Santoso; Kadispar Lebak Imam Rismahayadin dan Muspika Leuwidamar.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hari Santosa, mengatakan Kemenpar juga punya konsep sustainable tourism untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup dan keseimbangan lingkungan budaya.
“Budaya itu tetap eksis dan bertahan seperti yang diwariskan nenek moyang. Soal Pusat Informasi Badut bisa di mana saja. Bisa berbentuk sistem informasi (aplikasi), sehingga siapa yang mau datang, kapan, bisa mengontrol jumlah kunjungan. Karena ribuan yang datang itu belum tentu bermanfaat,” ujarnya.
Dia mengatakan, cara menjaga kearifan lokal dengan memanfaatkan teknologi, selama tak mengganggu lembaga adat. “Mungkin ada nilai sakral harus dijaga. Mungkin ada waktu tutup atau libur. Saya hormati budaya termasuk agama lokal. Agama yang warga anut itu kita tidak boleh melarang. Karena warga Baduy juga menghormati agama kita, maka harus kita balas dengan penghormatan,” kata Hari.
“Masyarakat Baduy ini contoh yang menjaga kelestarian alam. Jadi ini masukan yang akan saya bawa, permintaan lembaga adat Baduy adalah bukan wisata, tetapi Saba Budaya atau silaturahmi budaya. Desa ini ingin berstatus desa adat yang menerapkan sustainable tourism development. Dan mengenai Pusat Informasi Baduy itu kita bisa implementasikan,” tambah Hari.
Kepala Balai TNGHS Munawir menjelaskan sehari setelah ramainya surat ke Presiden itu ada rapat dengar pendapat (RDP) antara KLHK dan Komisi IV DPR RI. “Hasil RDP itu inta KLHK mengawal isu itu (Baduy dihapus dari peta destinasi wisata). Kami akan melaporkan hasil pertemuan ini buffer zone dibutuhkan masyarakat Dan kami hormati permintaan itu soal Saba Budaya Baduy,” ujarnya.
Bupati Lebak Iti Octavia menegaskan Pemkab Lebak sudah mengajukan permohonan kepada Kemendes PDT agar bisa mendaftarkan Desa Kanekes sebagai Desa Adat, tetapi Kemends belum mengabulkan.
“Dari Pemerintah Pusat melalui Kemenpar dan KLHK kiranya berkenan menyampaikan aspirasi masyarakat Baduy terkait kolom agama di KTP. Kedua, perubahan register di Kemendes. Ketiga terkait dengan buffer zone untuk melindungi tanah ulayat,” kata Iti.
“Terkait penerapan Perdes Saba Budaya Baduy, kami Pemkab Lebak akan membantu menyosialisasikan. Termasuk juga para tour guide harus terdaftar di Lembaga Adat ketika membawa tamu untuk Saba Budaya Baduy. Masalah retribusi, kami serahkan semua ke lembaga adat, untuk kepentingan lembaga adat,” tambah Iti.
Iti mengatakan, usulan Pusat Informasi Baduy, akan didukung penuh oleh Pemkab Lebak. “Kita konsisten masyarakat adat Baduy ini wajib kita lindungi bersama,” tegas Iti.
(Laurens Dami; JAS; Bahan dari : BeritaSatu.com dan https://www.beritasatu.com/nasional/657131/lembaga-adat-minta-istilah-wisata-diganti-dengan-saba-budaya-baduy )-FatchurR *