(duniaarie.blogspot.com)- 5-Pacu prestasi dan sangsi
Beberapa keluarga memacu berprestasi dan memberi sanksi. Mirta dikurung ayahnya 7 jam gara-gara ada nilai rapor jelek. Ongki P. Soemarno kena pecut gara-gara ada nilai merah di rapornya saat kelas 1 SD. “Wuuuh… bapak saya galak, keras!” kata Ongki. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan sesuatu dengan mudah kepada anak-anaknya.
Anak-anak diminta berjuang dulu, tak diberikan begitu saja. “Awalnya, kami frustasi. Saya tak pacaran waktu SMA hingga kuliah,” ujar pria yang menikah di usia 23 tahun itu.
Anak-anak juga didorong agar senang berkompetisi. Orang tua Omar S. Anwar, menyekolahkan Anwar di luar negeri yang iklim kompetisinya baik. Lingkungan sekolahnya mendukung berkompetisi. “Mereka berkompetisi, berlomba mendapat nilai bagus sehingga saya juga ikut arus itu,” tutur Omar.
Sisi pengembangan emosi dan sosial anak dibangun. Arwin mengaku, ayahnya menekankan pentingnya ketenangan jiwa (hidup), bukan semata kekayaan. Jangan menilai orang dari kekayaan, tapi dari strength of the character and the size of the heart. Juga, harus berpegang teguh prinsip yang bersifat universal.
Prinsip itu antara lain konsekuen, menepati janji, jujur, berjiwa besar, tidak mengambil hak orang, tidak ngomongin orang di belakang dan tidak “main sikut”.
“Jangan minder, harus menghormati semua orang. Kami harus berpendirian dan fair pada siapa pun,” ujar Arwin. Dalam memaknai sukses orang tua Arwin agak berbeda. “Sukses bila kita dapat memperoleh rasa damai pada diri sendiri, mencapai target yang kita tentukan, dan bisa berkontribusi pada lingkungan kita, keluarga dan yang lebih luas seperti saudara yang kurang mampu,” kata Arwin.
Dari sisi gaya hidup, meski dari keluarga mapan, mereka dididik sederhana. Mereka dibiasakan efisien. Ongki, Ari dan Rini juga. Mereka dididik mandiri. “Bapak saya menekankan, jangan mudah minta tolong. Jangan membebani orang lain. Itu mendarah daging” kata Ongki. Walau sekolah di Belanda, mereka bekerja sejak SMP.
“Liburan diisi kerja di toko buku atau pabrik permen. Semua anak punya pengalaman kerja waktu muda. Kami punya karakter sama: tidak mau buang waktu di masa muda,” Ongki menjelaskan.
Rata-rata keluarga sukses mencoba mengalihkan anaknya dari pergaulan kurang kondusif dan memberi kegiatan ekstra positif: berolah raga untuk membangun sportivitas, kursus, dll. Sri Mulyani tak menampik, ketika menuju dewasa, dia dan saudaranya didorong aktif di sekolah daripada bergaul dengan lingkungan yang tak kondusif.
“Kami dibiasakan berolah raga dan kesenian selain belajar di sekolah. Tujuannya, agar energi tersalurkan melalui kegiatan positif,” ujar Sri yang biasa ikut kegiatan bola voli, basket, pramuka, hiking, Palang Merah Remaja dan paduan suara.
(Arie Fiantisca; Bahan dari : http://duniaarie.blogspot.com/2009/08/mereka-bukan-keluarga-biasa.html; Dikutip dari situs http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=8629-FatchurR * Bersambung ………