(travel.okezone.com)- Pulau Natal terletak di Samudra Hindia, sekitar 360 Km arah selatan Pulau Jawa. Meski secara geografis dekat dengan Indonesia, atau Christmas Island nyatanya milik Australia. Menariknya, walau namanya Natal, tapi sebagian penduduknya Muslim.
Pulau Natal awalnya ditemukan kapten asal Inggris bernama William Mynors pada 1643. Karena ditemukan pada momentum Natal, maka pulau ini dinamai Natal. Pulau Natal rumah bagi perpaduan budaya, menciptakan komunitas yang beragam, bersemangat, dan ramah.
Mangutip dari Park Australia Gov, (22/1/2021), Pulau Christmas dihuni 2.000 penduduk. Mayoritas beretnis Tionghoa, kemudian Australia, disusul Melayu, Inggris dan Irlandia. Sekitar 40% penduduk Pulau Christmas kelahiran Australia. Pulau Natal digunakan sebagai tempat bagi imigran untuk mencari suaka.
Pemerintah Australia pada 2019 membuka pusat pencari suaka setelah sebelumnya ditutup pada 2018 karena protes dari para imigran, karena kondisi mereka yang mencari kepastian kewarganegaraan. Nah, di antara para imigran itu ada warga Muslim. Islam agama terbesar kedua di sana.
Berdasarkan CIA World Factbook yang dikutip Wikipedia, populasi Muslim di Pulau Natal 25% dari total penduduk. Sebagian besar imigran Melayu. Tapi, etnis Melayu bukan kelompok mayoritas. Karena yang mendominasi adalah masyarakat beretnis Tionghoa Hokkien. Itu sebab Buddha jadi agama mayoritas di sana.
Meski tak jadi agama mayoritas, umat Islam di Pulau Natal hidup damai, saling menghargai dengan pemeluk agama lain. Beragam festival budaya Islam diizinkan digelar. Pemerintah juga menetapkan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari besar di sana.
Umat Muslim di Pulau Natal biasanya beribadah di Masjid Kampong di Flying Fish Cove. Selain Masjid Kampong, ada juga Masjid At-Taqwa yang dikelola oleh Dewan Islam Federasi Australia (AFIC) di Christmas Island.
Sebagaimana di Indonesia dan Malaysia, umat Islam di Christmas Island menggelar perayaan Islam tradisional. Peringatan hari kematian, pengajian, khitanan, syukuran, dan perayaan lain kerap digelar warga Muslim.
McIntosh, mualaf dan imam tamu dari Indonesia mengajar di sekolah untuk anak-anak Melayu di masjid pulau itu. Melalui ajaran Islam, McIntosh berharap dapat menanamkan rasa bangga dan tujuan pada anak muda Melayu, serta mendapat tempat di Australia modern pada umumnya.
Meski pulau itu komunitas yang dekat, dia melihat kebutuhan mempersiapkan murid-muridnya menghadapi yang dia katakan sebagai arus Islamofobia yang berbahaya. “Dalam iklim saat ini, anak Muslim memiliki risiko untuk menjadi tidak terpengaruh,” kata McIntosh yang dikutip dari ABC News.
“Saya pikir yang dibutuhkan anak-anak adalah panutan dan dorongan, dan pemahaman bahwa Australia adalah rumah mereka.”
Cerita lain datang dari remaja Muslim (Johara). Hidup di pulau Natal sedikit merubah pandangannya. Dengan kesempatan kerja yang terbatas di Pulau Christmas, banyak anak muda ke daratan Australia untuk melanjutkan pendidikan ke universitas atau TAFE setelah menyelesaikan sekolah.
“Saya senang tinggal di pulau ini, tapi saya ingin pindah ke tempat lain untuk melakukan hal-hal yang saya inginkan,” kata Johara Sujangi, yang berharap bisa belajar sains di universitas.
(sal; Violleta Azalea Rayputri, Jurnalis; Bahan dari : https://travel.okezone.com/read/2021/01/22/406/2349119/kisah-pulau-natal-penduduknya-muslim-dan-punya-masjid?page=1)-FatchurR *