Shalat
Ketika temali telah terputus, jalan-jalan yang ada menjadi buntu, dan hati telah menjadi begitu kelam, maka datanglah shalat dengan kesanggupannya untuk memberikan pendar kasih sayang. Tatkala hati telah terasa kering dalam menghayati hidup ini, ketika ia tengah memunguti kesialan dalam tumpukan musibah yang menimpa dan tak ada percikan harapan sama sekali.
Tak ada siratan jalan keluar sedikitpun, tak ada penerangan ridha secerahpun, maka shalat datang kepada kita untuk memberikan pengganti dari kerapuhan yang fana dengan kehidupan yang tegar, memberikan pertautan antara kelemahan dengan kekuatan, menyambungkan kegamangan dengan kekukuhan, dan memberikan kekayaan kepada kepapaan.
Seorang muslim yang sedang menistakan diri bersujud, menyentuhkan ujung hidungnya dengan butiran debu, menempelkan keningnya dengan tanah, dan bersimpuh diri memanjatkan do’a dan munajat, menghadap ke hadirat Allah, Sang Maha Segala.
Pemandangan itu adalah pertunjukan yang menggetarkan hati yang jujur dan sanubari yang peka terhadap nilai kepalsuan dan kebohongan. Pemandangan itu merupakan sebuah gambaran yang agung di tengah-tengah kemegahannya, kesucian yang mempesona dalam wataknya yang paling terhormat.
Saya sama sekali tidak tertarik pergelaran sebuah pesta tahun baru dalam sebuah panggung yang dipenuhi hiruk-pikuk dan kemeriahannya. Saya justru sangat terpesona oleh seorang mukmin, yang sejumlah anggota tubuhnya sanggup meneteskan butiran-butiran air wudhu, yang matanya sanggup menitikkan air mata, dan yang perasaannya selalu tergugah dan tergerakkan untuk melakukan tobat.
Saya tak silau dengan perjamuan pesta yang dipenuhi kisah kepahlawanan yang menipu, yang disesaki lantunan lagu yang memekakkan telinga. Sebaliknya, saya kagum dengan pribadi muslim yang jujur dan mampu melepaskan keterikatan hatinya dengan kemewahan dunia dan menengadahkan tangannya seraya meneriakkan kata : ALLAHU AKBAR.
Saya bersaksi, demi sang Penguasa bintang dan Pencipta jagad, saya tak terpukau sama sekali dengan hiasan parade yang mewah dan kemegahan armada kapal. Saya terpukau dengan seseorang yang sanggup menangis dan bersujud sembari mengucapkan, “Wajahku bersujud kepada Penciptanya yang memberinya bentuk dan yang membukakan pendengaran dan penglihatannya.” (Nanang Hidajat)-FR