Makna kehidupan di dunia(b)
Hakikat ruh
Ada prinsip ‘jiwa bermula secara material dan berkelanggengan secara spiritual’ (al-nafs jismaniyah al-huduts ruhaniyah al-baqa). Prinsip ini membuktikan kemanunggalan jiwa dan tubuh berdasar teori gerak substansial.
Artinya, muncul spesies dalam lingkaran gerak, dan ruh merupakan akibat gerakan mutlak. Asal muasal munculnya jiwa adalah materi yang berubah. Materi ini berpotensi mengembangkan entitas dan sejajar dunia metafisika dan tak ada halangan entitas materi berubah jadi entitas yang spiritual.
Setelah membuktikan gerak bersifat penyempurna dan substansial, serta wujud yang jadi dasar segala sesuatu, maka Mulla Shadra menegaskan, tubuh akan berubah menjadi ruh (murni) dalam proses penyempurnaannya. Dengan demikian, ruh bukanlah sesuatu selain dari keseluruhan tubuh itu sendiri.
Ia bukan barang asing dalam tubuh pada masa hidupnya dan menghilang pada waktu matinya, dan tidak ada pertentangan antara wujud fisik dan nonfisik. Bagi Shadra, tubuh dan jiwa, dua tingkatan dari wujud yang tunggal, yakni tingkatan pertama (tubuh) lebih minus dibanding dengan tingkatan kedua (jiwa).
Jadi, materi tubuh yang berubah ini berganti wujud tetap sehingga tidak ada dualisme dan tidak ada penyatuan. Yang terjadi penyempurnaan. Mulla Shadra mendukung teorinya ini dengan al-Quran surat al-Mukminun : 12-14, yang menceritakan tentang penciptaan manusia dari saripati tanah, jadi sperma.
Lalu jadi segumpal darah, daging, dan tulang yang selanjutnya dibungkus daging dan terakhir dijadikan makhluk yang berbentuk lain (khalqan akhar). Maknanya, manusia merupakan gabungan dari materi (maddah) dan bentuk (shurah), dan kemudian materi awal bergerak menjadi tanah dan segumpal darah.
Kemudian segumpal daging, lanjut jadi janin-bayi-anak2-remaja-dewasa-tua, dan mati kembali menjadi tanah. Dari sisi bentuk, pergerakannya menjadi nafs al-mutaharikah, lalu nafs nabatiyah, lanjutjadi nafs hayawaniyah, dan akhirnya menjadi nafs al-insaniyat. Yang terakhir inilah disebut ruh manusia.
Ini mengisyaratkan objek ini dijadikan ciptaan lain. Ayat ini tidak menyatakan ada yang lain yang didatangkan dari luar objek ini. Karena itu, suatu benda bergerak penyempurna alam bendawiah berdimensi panjang-lebar-tebal-waktu, menuju alam tidak berdimensi ruang-waktu. Sehingga tidak ada pemisahan yang menyebabkan kita berpikir dualistik (ruh dan tubuh yang saling independen).
Tersusunnya manusia dari ruh dan tubuh tidak seperti zat kimi, terdiri dari 2 unsur, seperti air dari oksigen-hidrogen, yang bila salah satu berpisah dari yang lain, wujud susunannya sirna berikut seluruh sifat susunannya. Ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.
Ruh manusia dihembuskan dari alam malakuti, yang memiliki 4 jenis fungsional, yaitu :
1. Ruh yang mengatur susunan atom materi sehingga tidak bercerai berai (ruh jenis materi)
2. Ruh yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan (ruh jenis nabati/tumbuhan)
3. Ruh yang mengatur gerak ikhtiari seperti merasa, mencinta, benci, bergerak, dan lainnya (Ruh jenis hewani). Ketiga ruh di atas disebut juga jiwa.
4. Ruh yang mengatur kerja akal sebagai kekuatan menyimpulkan secara universal.
Ruh wujud non-material, tapi berhubungan jasad dalam fungsinya. Untuk membuktikan kenon-materialan ruh banyak mengajukan argumentasi ‘mustahilnya yang besar masuk ke dalam yang kecil’. Maksudnya, dalam dunia materi, tak mungkin yang lebih besar menempati sesuatu yang lebih kecil.
Manusia tahu yang sangat besar dari dirinya, seperti gunung, bumi, langit, dsb. Ini bukti manusia memiliki unsur bukan materi sehingga dapat menampung seluruh pengetahuan. Unsur yang non-materi itu disebut dengan ruh. Ruh itu mandiri, tetap utuh meski tubuh hancur luluh. Itu karena, ruh hakikat substansial dan bukansifat tubuh, yang disebut ‘aku’ sebagai hakikat manusia.
Secara sederhana ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil :
1. Setiap diri, tahu ‘aku’ (ruh–nya) masing2 secara hudhuri. Sedang tubuh diketahui secara hushuli. Dengan demikian, ‘aku’ (ruh) bukanlah tubuh.
2. ‘Aku’ hakikat tetap dan utuh puluhan tahun bersifat kesatuan dan identitas diri. Adapun tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang, sehingga ia tak punya standar kesatuan.
3. ‘Aku’ ini sederhana (tak tersusun), tak mungkin dibagi, sedang anggota tubuh dapat dibagi-bagi.
4. Keadaan jiwa : perasaan, kehendak dan selainnya itu tak punya ciri dasar materi : Ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal yang non-materi itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi atau tubuh. Subjek hal-hal non-materi itu substansi (jauhar) yang non-materi /mujarrad. Bersambung………………. (Moeljadi)-FR