Kantor Telkom pertama?
Banda Aceh–Di Jln Teuku Umar, Banda Aceh, terdapat bangunan ala Eropa yang masih kokoh. Ini adalah kantor sentral telepon pertama di Indonesia peninggalan Belanda. Letaknya persis di pangkal Jalan Teuku Umar, Banda Aceh, NAD. Bangunan persegi 8 ini kental dengan unsur kolonial. Bagian atasnya setengah lingkaran.
Lantai satu bangunan seluruhnya terbuat dari beton, sementara lantai duanya semi permanen. Pada bagian pintu, dinding dan jendelanya berukuran besar. Kini, bangunan peninggalan kolonial ini sudah dijadikan salah satu cagar budaya. Meski demikian, bangunan ini lebih sering tutup. Pengunjung yang berwisata ke sana hanya dapat melongok bangunan dari luar saja.
“Bangunan ini pernah dijadikan kantor PSSI dan kantor salah satu media terbitan Aceh. Sekarang jarang ada orang di dalam,” kata Salman, seorang warga Aceh, Selasa (12/1/2015).
Di bagian atas bangunan dekat ventilasi jendela tertulis angka 1903. Angka tersebut diyakini sebagai tahun gedung itu dibangun atau pada era kepemimpinan Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903).
Menurut sejarah, sentral telepon dibangun di area Istana Kerajaan Aceh Darussalam saat Belanda masih menduduki wilayah Koetaraja (kini Banda Aceh). Mereka menjadikan ujung pulau Sumatera ini sebagai pusat pemerintah militer.
Waktu itu, Belanda menyebut bangunan tersebut sebagai Kantor Telepon Koetaradja. Selesai dibangun, Belanda yang dulunya menggunakan telegraf untuk berkomunikasi jarak jauh, kini beralih ke telepon.
Alat komunikasi ini merupakan yang pertama sekali dididirikan Belanda di Hindia Belanda (kini Indonesia). Kehadiran telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Belanda dalam memberi perintah perang kepada anak buahnya yang ada di Aceh. Selain itu, juga digunakan untuk mengetahui rencana penyerangan dari pejuang Aceh.
Meski demikian, Gubernur Militer Belanda kala itu juga kadang kesal dengan telepon tersebut. Bahkan ia kerap mencabut kabel telepon agar tidak dapat menerima informasi. Dikutip dari buku Banda Aceh Heritage, hal itu dilakukan karena sang jenderal sewot gara-gara seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Tanoh Rencong terhadap pasukannya di lapangan.
Di bagian atas bangunan dekat ventilasi jendela tertulis angka 1903. Angka tersebut diyakini sebagai tahun gedung itu dibangun atau pada era kepemimpinan Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903).
Menurut sejarah, sentral telepon dibangun di area Istana Kerajaan Aceh Darussalam saat Belanda masih menduduki wilayah Koetaraja (kini Banda Aceh). Mereka menjadikan ujung pulau Sumatera ini sebagai pusat pemerintah militer.
Waktu itu, Belanda menyebut bangunan tersebut sebagai Kantor Telepon Koetaradja. Selesai dibangun, Belanda yang dulunya menggunakan telegraf untuk berkomunikasi jarak jauh, kini beralih ke telepon.
Alat komunikasi ini merupakan yang pertama sekali dididirikan Belanda di Hindia Belanda (kini Indonesia). Kehadiran telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Belanda dalam memberi perintah perang kepada anak buahnya yang ada di Aceh. Selain itu, juga digunakan untuk mengetahui rencana penyerangan dari pejuang Aceh.
Meski demikian, Gubernur Militer Belanda kala itu juga kadang kesal dengan telepon tersebut. Bahkan ia kerap mencabut kabel telepon agar tidak dapat menerima informasi. Dikutip dari buku Banda Aceh Heritage, hal itu dilakukan karena sang jenderal sewot gara-gara seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Tanoh Rencong terhadap pasukannya di lapangan.
Jaringan telepon menembus berbagai kota seperti Ulee Lheu, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurelak, Kuala Simpang hingga beberapa kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi dan Asahan.
Usai Belanda angkat kaki karena gagal menaklukkan Aceh, masuklah Jepang. Sentral telepon yang sudah dibangun lama tetap digunakan pasukan dari Negeri Matahari Terbit untuk berkomunikasi. Pasca Indonesia merdeka, bangunan ini sempat dijadikan kantor telepon Kodam I Iskandar Muda.
Kini, gedung tersebut dijadikan sebagai salah satu situs sejarah dan wisata yang berada di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya. (Agus Setyadi; sst/fay; http://travel.detik.com/read/2016/01/13/081504/3117090/1519/inikah-kantor-telepon-pertama-di-indonesia)-FatchurR