Iptek dan Lingk. Hidup

Mengenal Tax haven

KOMPAS.com – Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dokumen “Panama Papers”. Dokumen ini menyajikan informasi berbagai pemimpin negara, pejabat dan petinggi politik, pebisnis, olahragawan, hingga professional.

Mereka menggunakan jasa firma hukum Mossack Fonseca di Panama untuk berbagai tujuan, baik bisnis, penyamaran kepemilikan, maupun penghindaran pajak. Untuk memahami apa dan bagaimana “Panama Papers” berikut kami buat penjelasan singkat agar mudah dipahami, dimulai dengan “tax havens”.

Asal-usul Istilah
Istilah tax havens sering disebut juga “tax heaven” atau surga pajak. Tax havens sebenarnya lebih tepat diterjemahkan suaka pajak, karena merupakan perlindungan dari pengenaan pajak.

Istilah surga selain menjadi penanda “sesuatu yang nikmat dan menyenangkan”, ternyata juga dekat dengan istilah yang dipakai Prancis yaitu paradis fiscaux, atau di Spanyol disebut paradisos fiscales, di Italia bernama rifugio fiscale, dan Jerman menyebutnya Stuerhafens.

Sejak kapan “tax havens” ada?
Tax havens sebagai konsekuensi meningkatnya tarif pajak. Istilah ini pertama muncul di majalah The Times 17/5/1894, ketika banyak wajib pajak di Inggris memindahkan kekayaan menghindari pajak. Pasca Perang Dunia I kebutuhan biaya akibat kehancuran ekonomi pasca perang mendorong negara2 untuk menaikkan tarif pajak agar pendapatan negara meningkat.

Tarif pajak pada 1924 bahkan mencapai 72 persen. Sejak saat itulah tax havens lahir dan tiga kota di Swiss – Geneva, Zurich, dan Basel – menjadi pusat penghindaran pajak yang aman. Pada kurun 1930-an, pemungutan pajak yang semakin agresif mendorong lahirnya tax havens baru.

Ketika Roosevelt berkuasa, pengusaha2 di AS menggunakan Bahama sebagai tempat menyembunyikan penghasilan. Tahun 1960, Cayman Island lahir sebagai tax havens baru didukung perbankan Kanada.
The Rolling Stones meninggalkan Inggris 1971 karena beban pajak terlampau tinggi. Mereka pun melakukan eksodus ke AS, dan diikuti banyak profesional lainnya.

Pada saat bersamaan Panama juga lahir sebagai tax havens yang menyimpan dana milik pengusaha AS dan Amerika Tengah, terutama Kuba.

Apa yang dimaksud “tax havens”?
Secara umum tax havens didefinisikan sebagai suatu negara atau wilayah yang mengenakan pajak rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak dan menyediakan tempat yang aman bagi simpanan untuk menarik modal masuk.

OECD memberi tiga ciri tax havens yaitu menerapkan tarif pajak rendah atau bebas pajak, lack of transparency, dan lack of effective exchange of information. Dengan demikian tidak semua yurisdiksi dengan tarif pajak rendah merupakan tax havens karena mau bekerja sama dalam pertukaran informasi.

Dalam perpajakan internasional, kerap digunakan tiga istilah yang bisa dipertukarkan satu sama lain yaitu: Preferential Tax Regime’s (PTRs), Offshore Financial Centers (OFCs), dan tax havens.

Apa saja yang ditawarkan oleh “tax havens”?
Negara suaka pajak pada umumnya menawarkan manfaat: (i) peluang diversifikasi investasi, (ii), strategi menangguhkan beban pajak, (iii) perlindungan asset yang kuat, (iv) hasil investasi bebas pajak, (v) offshore banding dengan keleluasaan dan privasi,

(vi) imbal hasil yang lebih besar, (vii) mengurangi beban pajak, (viii) menghindari restriksi mata uang, (ix) peluang mengembangkan bisnis. Bahaya penggunaan tax havens antara lain money laundering, penyalahgunaan perusahaan cangkang (shell companies), pendanaan yang keliru, penggelapan pajak, dan ancaman pada stabilitas sistem keuangan.

Siapa saja yang dikategorikan “tax havens”?
Kita sering berpikir tax havens adalah teritori yang sangat jauh dari kita. Faktanya tax havens semakin marak seiring dengan globalisasi. Bahkan kaitan pajak dan globalisasi sangat erat karena efisiensi pajak merupakan motif utama modal mencari keuntungan maksimal.

OECD pada tahun 1998 mengeluarkan dokumen Anti-Harmful Tax Competition dan menyusun daftar hitam negara suaka pajak. Sejak saat itu genderang perang terhadap tax havens dimulai. Menurut IMF, setidaknya diidentifikasi 60 teritori suaka pajak. Tujuh tax havens terbaik (Hoyt:2007) adalah Switzerland, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis, Belize, Hong Kong.

Sedangkan 11 tax havens terbaik untuk melindungi asset (Hadnum:2011) adalah Jersey (Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, The Cayman Island, St Kitt Nevis, Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, New Zealand.

Dalam taraf tertentu Irlandia juga merupakan low tax regime karena pemberlakuan “Double Irish” yang mengenakan pajak sangat rendah untuk perusahaan yang berkedudukan di Irlandia namun kontrol manajemen dilakukan di luar Irlandia.

Belanda juga dikenal dengan ‘Dutch Sandwich” yang tidak mengenakan pajak terhadap pembayaran royalti dan bunga sehingga sering digunakan sebagai tempat pendirian special purpose vehicle (SPV).

Adakah data dan fakta yang mencengangkan terkait “tax havens”?
Sebanyak 33% Modal Asing Langsung atau FDI berasal dari tax havens. Tahun 2010 Barbados, Bermuda dan the British Virgin Islands (BVI) menerima FDI 5,11% dari FDI global, melebihi Jerman (4,77%) atau Jepang (3,76%). Investasi ketiga negara ini mencapai 4,54% terhadap investasi global, melebihi Jerman (4,28%).

Sementara itu, tahun 2010 lalu BVI merupakan investor terbesar kedua ke China (14 persen), setelah Hong Kong (45 persen), dan di atas AS (4 persen). Bermuda merupakan investor terbesar ketiga di Chili (10 persen).

Mauritius; investor terbesar ke India dengan kontribusi hingga 24%, Cyprus (28%), BVI (12%), Bermuda (7 persen). Bahama (6 persen) adalah investor terbesar ke Russia. BVI berpenduduk 19.000 orang tetapi memiliki 830.000 perusahaan terdaftar dan 300.000 perusahaan cangkang.

Adapun negara Cayman memiliki 70.000 perusahaan, 430 bank, 720 perusahaan asuransi, 7.000 lembaga pembiayaan. Padahal tercatat hanya 5.400 pegawai dan terdapat satu alamat dengan 18.000 perusahaan.

Cayman memiliki asset 1,3 kali GDP Norwegia dan total assetnya sebesar 700 kali GDP. Contoh lain, Swiss menyimpan 2.300 miliar dollar AS dana asing. Dan AS kehilangan potensi pajak sebesar Rp 6.000 triliun, karena Rp 30 triliun laba perusahaan diparkir di luar negeri.

Siapa saja yang pernah memanfaatkan jasa “Tax Havens”?
Yang terhangat Apple, Google, Starbucks dan Amazon. Sebelumnya Airbus, Mark Spencer, Vodafone, Coca Cola, Cisco, Pfizer, LTCM, Parmalat, Refco, Enron, Northern Rock. Pada 2008, seekor anjing bernama Gunter terdaftar bersama 1.400 orang pemilik trusts di Leichenstein,

Untuk menghindari pajak Jerman. Juni 2008, pegawai senior bank UBS Swiss mengaku telah membantu menghindari pajak orang AS senilai 20 miliar dollar AS, dengan biaya 200 juta dollar AS.

Apa yang dilakukan untuk menangkal “Tax Havens”?
Inisiatif yang pernah dilakukan adalah Financial Action Task Force (1989), membentuk OECD Forum on Harmful Tax Practices dan OECD Global Forum, Tax Information Exchange Agreement (2001), dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan (2013) yang diinisiasi OECD dan G-20.

Berapa potensi pajak orang Indonesia di “Tax Havens”?
Menurut penelitian Tax Justice Network (2010), lebih dari 331 miliar dollar AS (setara Rp 4.500 triliun) asset orang Indonesia berada di tax havens. Sedang, menurut Global Financial Integrity (2014), sedikitnya terdapat Rp 200 triliun aliran dana ilegal keluar Indonesia setiap tahunnya.

Lembaga lain McKinsey pernah menyebut asset orang Indonesia di luar negeri Rp 4.000 triliun. (Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis / CITA; Estu Suryowati; Aprillia Ika; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/11/060300926/Mengenal.Tax.Haven.atau.Suaka.Pajak.dan.Fakta.Mencengangkan.di.Baliknya)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close