Audio System (TA 084)
Saya tuli. Jadi terpaksa menggunakan alat bantu dengar. Bahkan bila perlu dan tidak lupa, saya memakai dua, kiri dan kanan. Padahal profesi saya menulis, selain membaca, saya perlu banyak mendengar. Saya memiliki banyak hambatan untuk mendengar dengan baik.
Suatu pagi dini hari, saya ke sebuah masjid, yang lumayan jauh dari rumah saya untuk mendengarkan ceramah subuh dari seorang penceramah yang bagus, favorit saya. Tapi, ala mak masjid yang megah dan bagus itu payah pengaturan sound systemnya. Ia menggunakan banyak loadspeaker kecil yang biasa dipakai untuk system audio di mobil.
Ya tentu saja, mobil adalah ruangan kecil yang kedap suara, dipakai di masjid yang luas, tinggi dan dinding keramik … mutu suaranya hancur. Dinding keramik memang indah, tapi ia terlalu memantulkan suara kemana-mana tanpa kendali.
Di barisan belakang saya temui MC-nya seorang anak muda dan saya sampaikan keluhan saya. Ia sadar dan mengakui. Ternyata pembicara yang saya kenal baik, juga mengeluh. Pembicara tidak bisa fokus dan berjuang mengalahkan suara-suara mobil di jalan besar.
Mushola yang tidak jauh dari rumah saya membangun menara tinggi dan menempatkan 2 load-speaker merk Toa di puncaknya. Untuk adzan dan iqomah jelas. Tapi bila pengurus masjid memutar kaset khasidah, waduh, habis telinga kita di dera musik yang suaranya hancur. Loadspeaker Toa yang model corong itu bukan untuk musik. Benda itu hanya untuk suara manusia.
Telinga kita berkemampuan mendengar bunyi dalam spectrum frekwensi 20 sampai 20,000 Hz (20 kilo Hertz), yang sering disebut frekwensi audio. Jadi telinga manusia normal hanya bisa menangkap suara dari 20 getaran per detik, sampai suara sangat tinggi 20.000 atau 20 kilo getaran per detik.
Padahal di jagad raya ini banyak getaran yang jauh lebih rendah ber-juta2 kali lebih rendah dari 20 Hz sampai getaran yang berjuta milyar lebih tinggi dari 20 Kilo Hertz. Sedang kemampuan mulut kita hanya bisa mengeluarkan suara dari frekwensi 300 Hz sampai 3,4 Kilo Hz saja. Jadi ruangan masjid hanya perlu fokus ke wilayah frekwensi itu saja. Dan itu tidak terlalu mahal.
Umumnya masjid mengutamakan keindahan, kemegahan fisik dan mengabaikan pengaturan tata suara, padahal salah satu fungsi masjid adalah siar agama. Bagaimana bisa siar bila hanya 30% suara saja yang bisa ditangkap dengan jelas. Komponen peralatan sound system terdiri dari empat hal pokok.
Microphone alat khatib untuk bicara, Amplifier perangkat memperkeras suara khatib, Loadspeaker perangkat para pendengar menangkap suara khatib dan last but least perkawatannya. Contoh sound system yang bagus yang saya temui adalah Masjid Agung Bandung dan Masjid di kompleks perkantoran LIPI. Sound systemnya di desain dengan baik.
Saya jadi ingat akan kerabat saya almarhum Bambang Samekto, seorang insiyur lulusan ITB jurusan elektro, mendirikan biro konsultan. Spesialisasi beliau adalah mechanical/electrical dan beliau mendalami sound system masjid-masjid di Bandung.
Ilmu yang dimilikinya dipergunakan untuk memudahkan orang beribadah. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amal jariah almarhum. Aamiin. (sadhono@indo.net.id; Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR