Kok bisa ya-Suntik formalin
Di tahun 1980-an Pak Johar bekerja di kota Ujung Pandang, sekarang namanya menjadi kota Makassar. Pada jaman itu Pak Johar masih muda, masih bujangan. Nah, waktu itu ada teman kerja Pak Johar yang sakit, dirawat di sebuah rumah sakit, kemudian meninggal dunia.
Karena teman Pak Johar tersebut asalnya dari Pulau Sumatra, maka jenazah akan dikirim dari Makassar ke kampung halamannya di Sumatra menggunakan pesawat terbang. Karena yang akan dikirim jenazah, tentu tidak asal kirim, harus dikemas sedemikain rupa sehingga sesuai aturan yang berlaku.
Di Rumah Sakit (RS) tempat dia dirawat, siang hari disalatkan dan ada upacara dari kantor. Kemudian sore hari mulailah penyiapan jenazah. Waktu itu yang hadir banyak sekali. Makin sore, makin malam yang hadir berkurang, yang tinggal terutama yang bujang-bujang, seperti Pak Johar itu.
Ternyata “mengemas” jenazah prosesnya tidak mudah. Sore hari peti mati datang dari tempat pemesanan. Kemudian di bagian dalam dilapisi dengan seng. Seng itu dibeli lembaran, lalu dipotong-potong.
Pertama alas peti dilapisi seng, lalu sisi samping yang disambungkan dengan bagian alas dengan cara dipatri atau disolder sampai nyambung betul. Kemudian disiapkan juga sisi atasnya. Nantinya seluruh peti akan terlapisi dengan seng dan semua disolder menjadi rapat, kedap uadara dan kedap air. Jadi seandainya berbau, baunya tidak akan keluar dari peti.
Setelah peti siap, di bagian bawah peti, di atas seng, ditaburi kopi bubuk, untuk menyerap bau dan cairan kalau ada. Entah berapa kilo kopi bubuk yang ditaburkan. Jenazah lalu disuntik dengan formalin, dikafani lalu dimasukkan ke peti tadi.
Seng bagian penutup (atas) disolder dengan bagian lain, sehingga jenazah benar-benar aman dan tertutup rapat seng. Tidak akan menimbulkan bau dan sebagainya. Terakhir perti ditutup dengan tutupnya yang terbuat dari kayu dan digembok. Kini peti mati siap dibawa ke lapangan terbang untuk diterbangkan ke Sumatra tadi.
Proses mempersiapkan jenazah dan peti mati itu ternyata lama, dari sore sampai tengah malam belum selesai. Waktu itu yang masih setia berada di tempat itu tinggal beberapa orang, termasuk Pak Johar, menemani orang yang sedang mempersiapkan jenazah itu.
Tempatnya di garasi kamar jenazah Rumah Sakit itu. Untuk diketahui di sebelah kamar jenazah itu ada kuburan umum yang besar. Anehnya Pak Johar dan kawan-kawan kok ya tidak ada yang takut. Padahal jenazah juga ada di situ.
Nah, yang akan diceritakan ulang, adalah saat penyuntikan dengan formalin. Dari awal Pak Johar membayangkan namanya menyunyik itu alat suntiknya ya seperti alat suntik yang sering dilihatnya, sebesar dan sepanjang jari tengah tangannya.
Cairan ayng disuntikkan ya beberapa puluh cc. Namun begitu melihat alat suntik untuk jenazah, Pak Johar sontak kaget, sebab alat suntiknya besar, sebesar pompa sepeda! Jarum suntiknya, sebesar lidi pohon aren. Cairan formalin juga disediakan satu ember.
Kemudian yang disuntik bukan lengan atau pahanya, tapi bagian perut dan sebagainya. Tapi setelah dipikir -pikir ya masuk akal juga, sebab orang mati kan darahnya tidak mengalir, jadi kalau disuntik seperti orang hidup ya formalinnya tidak akan mengalir seperti pada orang hidup.
Alat suntik formalin dikiranya sebesar jari tengah tangan, nggak tahunya sebesar pompa sepeda; KBY. Kok bisa ya ? (Widartoks 2016; dari grup FB-MKPB-Telkom)-FR