Wayang-Antareja(9)-Lanceng Putih
// Kali ini cerita wayang disampaikan dengan bahasa yang sedikit kekinian. Harap maklum //
Alkisah, di Jonggring Salaka, keratonnya dewa2 di Kayangan (alamnya para dewa). Bathara Guru, ratunya para dewa memimpin sidang terbatas, dihadiri dewa2 penting, dewa2 senior, membahas masalah sangat penting. Perang Baratayuda.
Diawali dengan diskusi mengenai jadi tidaknya perang besar itu. Ada yang tidak setuju, dengan alasan : perang, apalagi perang besar hanya akan menyengsarakan banyak orang, baik pejabat, kerabat kerajaan, tentunya yang paling menderita adalah rakyat jelata.
Banyak ibu kehilangan anak, banyak istri kehilangan suami, suami kehilangan istri (istri yang jadi KOWAD alias Komando Angkatan Darat-nya wayang) yang ikut perang, banyak anak jadi yatim piatu. Belum lagi yang sakit, luka, cacat, semua akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.
Banyak juga yang setuju dengan jadinya perang Baratayuda ini, sebab dengan adanya perang besar ini, si angkara murka akan bisa dikalahkan dan dimusnahkan, dari pada dibiarkan hidup malah akan semakin merusak ketenteraman dunia wayang secara berkepanjangan.
Seperti yang terjadi selama ini, banyak orang yang menyalah gunakan kekuasaan, keadilan (bukan hukum) tidak ditegakkan, korupsi meraja dan melela, yang berkuasa sewenang-wenang dan tentunya “plus” seabreg justifikasi lainnya.
Maka, Bhatara Guru sebagai rajanya para dewa lalu memutuskan bahwa perang Baratayuda harus terjadi, harus terlaksana. Batara Guru lalu menunjuk Batara Panyarikan sebagai notulis rapat, yang akan segera mencatat keputusan itu dan keputusan2 berikutnya.
Batara Panyarikan, maksudnya dewa yang menjadi “carik” alias sekretaris kerajaan para dewa. Jadi itu bukan nama dewa, namun nama jabatan. Kalau di dunia manusia misalnya Pak Seten (lengkapnya Pak Asisten), Pak Pandri, Pak Tamping, itu semua bukan nama orang, namun nama jabatan.
Disusunlah skenario perang dan penentuan takdir dari yang terlibat perang. Perang ini antara pandawa melawan kurawa, dan melibatkan tokoh2, negara2 dan banyak pihak. Begitulah takdir2 disepakati dan ditulis. Pihak kurawa dibantu Pendeta Durna yang merupakan guru kurawa dan pandawa, Bisma sebagai pewaris asli negara Hastinapura, Prabu Salya dan raja2 sekutu Hastina lain.
Prabu Salya, raja Mandaraka. Sewaktu muda bernama Narasoma dan punya ajian menakutkan, yaitu candrabirawa. Prabu Salya ayah dari Dewi Surtikanti (istri Prabu Baladewa, raja Mandura, kakak dari Kresna), Dewi Erawati (istri Adipati Awangga, Karna yang anak tertua Dewi Kunti, ibunya Puntadewa, Bima dan Arjuna), Dewi Banowati (istri Prabu Duryudana, raja Hastina sekarang).
Burisrawa (yang pernah diceritakan di episode sebelumnya) dan Rukmarata. Prabu Salya paman atau lebih tepatnya “uwa” atau “pak de” dari si kembar pandawa, Nakula dan Sadewa, sebab mereka berdua adalah putra dari Dewi Madrim yang adik kandung Prabu Salya.
Jadi perang ini merupakan perang saudara. Siapa2 yang akan ikiut berperang sudah kenal lawannya, termasuk kesaktian dan kehebatannya apa. Di sisi pandawa, dibantu beberapa Negara : negara Wirata dengan petingginya Resi Seta, Utara dan Wratsangka.
Kerajaan Pancala adalah kerajaan asal Srikandi (istri Arjuna) dan Drupadi istri dari sulungnya pandawa, Puntadewa. Juga Drestajumena adik dari Srikandi. Di pihak pandawa ada Kresna jadi penasehat mereka dan di dalam perang besar itu. Ada kerabat Kresna lainn, seperti Setiaki dari negara Lesanpura.
Itu contoh saja, masih banyak negara terlibat, sebab kurawa dan pandawa punya banyak negar sahabat, banyak negara sekutunya. Hasil rapat tadi ditulis Batara Penyarikan. Setelah rehat “cofee break” atau minum kopi pagi, rapat dilanjutkan. Kali ini dibahas skenario perangnya. Perang harus diakhiri dengan matinya salah satu senopati atau panglima perang atau punggawa penting dari yang berperang.
Hari pertama perang, yang jadi Senapati alias Panglima Perang pihak Kurawa : Bisma, sedang Pandawa adalah Begawan Seta (dibaca Seto), Begawan Seta tewas di tangan Bisma. Dari pihak Pandawa majulah Utara, Utara tewas.
Diteruskan lagi dengan yang maju di medan laga berikutnya, untuk hari2 selanjutnya. Siapa lawan siapa, siapa yang menang, siapa yang tewas, tewas oleh siapa, bagaimana poses tewasnya, semua ditulis dengan rapi oleh Batara Panyarikan sebagai notulis rapat tadi.
Tentu semua dewa yang hadir tegang, sebab ini menyangkut penentuan mati hidupnya manusia eh Wayang. Semua dewa yang hadir tegang, keringat segede jagung metetes di kening, sekalipun ruangan itu ber-AC nan dingin. Kadang terjadi diskusi alot, namun keputusan ada di tangan Batara Guru sebagai rajanya para dewa.
Yang hadir semua datang karena ada undangan resmi. Setelah ‘break’ (istirahat) untuk makan siang, rapat membahas skenariao perang Baratayuda dilanjutkan lagi. Yang tewas di perang silih berganti dari pihak kurawa dan pandawa sudah diputuskan dan dicatat oleh notulis rapat.
Kini dibahas perangnya Baladewa yang kakak kandung Kresna itu dan selama ini lebih banyak memihak Kurawa. Setelah dibahas, Bhatara Guru memutuskan Baladewa melawan Antareja, Baladewa tewas. “ Batara Penyarikan, tolong tulis : Baladewa melawan Antareja, Baladewa tewas”, perintah Batara Guru.
“Siap Pikulun! ”, jawab Batara Penyarikan. Maka dia siap menuliskan skenario itu. Ketika Batara Penyarikan akan menulis, tiba2 pulpennnya terpental dan jatuh ke lantai. Kontan yang hadir terperanjat. Saat itu diketahui, pulpen yang dipakai Batara Penyarikan, “ditabrak” atau lebih tepatnya “ditendang” oleh Lanceng Putih. Ada penyusup ternyata.
“Hei, siapa kamu, yang berani-berani menyusup ke rapat penting ini”, hardik Batara Guru. Maka, Lanceng Putih segera “badar” alias kembali ke bentuk asli berupa badan halus.
“Hamba pikulun, Sukma Wicara”, jawab badan halus itu yang bernama Sukma Wicara, sambil menghaturkan sembah.
Oh ya, “pikulun” atau “pukulun” adalah sebutan hormat ke dewa oleh manusia, bisa juga dari dewa ke dewa lain yang lebih tua atau dituakan. Lanceng juga ada yang menyebut Klanceng, adalah ‘lebah madu” namun jenisnya kecil, lebih kecil dari lalat rumah. Warnanya coklat kehitaman.
Sukma Wicara sengaja menyusup ke rapat ini untuk mengetahui skenario perang Baratayuda dan nasib orang yang dicintainya, yaitu Baladewa. Untuk bisa menyusup ke ruang sidang para dewa ini, Sukma Wicara mengubah diri jadi Lanceng Putih kecil, masuk ke ruang sidang via lubang kunci pintu ruang rapat
Itulah mengapa, alarm yang ada di Jonggring Salaka tidak berbunyi. Tidak juga tertangkap oleh kamera CCTV yang ada di ruang itu, atau tertangkap tetapi tidak diperhatikan oleh dewa penjaga keamanan, dikira lanceng biasa saja.
“Sukma Wicara, ada perlu apa kamu mengganggu rapat kami?”, kata Batara Guru. Sukma Wicara, tidak “dimarahi” Batara Guru, karena dia kesayangan para dewa, sebab merupakan titisan Dewa Wisnu.
“Pikulun, hamba ke sini, untuk mengetahui skenario Perang Baratayuda, sekaligus mengetahui nasib para pandawa, serta nasib Kakang Baladewa. Mohon maaf hamba telah lancang,” kata Sukma Wicara.
“ Hamba mohon dengan sangat agar Kakang Baladewa tidak mati di dalam perang ini. Selain itu hamba mohon bisa diberikan “copy” atau salinan dari risalah rapat skenario perang Baratayuda”, sambungnya.
” Tidak bisa. Ini keputusan”, kata Batara Guru.
” Apalagi Baladewa lebih banyak memihak kurawa, jadi di perang ini dia memihak kurawa dan mati”.
“ Pikulun, hamba mohon dengan sangat, agar dia tidak mati di perang Baratayuda. Hamba bersedia mematuhi apa saja perintah pukulun”, kata Sukma Wicara menghiba.
“Hm …”, Batara Guru bergumam. Dia nampak berfikir keras.
” Lalu bagaimana skenarionya?”, Batara Guru berhenti sebentar.
” Atau begini, Baladewa tidak usah ikut perang Baratayuda, melihatpun dia tidak boleh. Skenarionya bagaimana, saya serahkan kepadamu Sukma Wicara. Selain itu salinan skenario perang Baratayuda juga boleh kamu minta, tetapi ada syaratnya.
Syarat pertama karena ini rahasia dewa, isinya jangan kamu katakan ke siapapun dalam bentuk apapun, apakah berupa pembicaraan, salinan, foto copy atau “soft copy” lainnya. Kedua kembang Wijaya Kusuma kepunyaanmu saya minta kembali”, kata Batara Guru.
“Hamba menurut perintah pikulun”, jawab Sukma Wicara.
Rapat dilanjutkan sampai perang Baratayuda selesai. Sukma Wicara ikut rapat itu, namun hanya sebagai pengamat. Setelah selesai, skenario perang Baratayuda dijilid menjadi buku atau kitab dan diberi nama Kitab Jitabsraya. Sukma Wicara diberi satu salinan atau “copy”, setelah pusaka Wijaya Kusuma diserahkan kepada Batara Guru.
Tentu karena dia berujud “sukma”, alias badan halus alias “soft body”, maka yang diberikan juga dalam bentuk salinan halus atau “soft copy” saja. Sukma Wicara kemudian pamit pulang ke bumi kembali. Saat Sukma Wicara baru meninggalkan kayangan, lalu terbang melayang ke bumi, dia dicegat sukma atau badan halus lain.
” Berhenti, berhenti”, kata sukma lain itu.
” Kamu siapa, berani2nya memberhentikan langkahku?”, tanya Sukma Wicara.
” Namaku Suma Langgeng. Kamu siapa buru2 meninggalkan kayangan Jonggring Salaka?”, kata badan halus bernama Sukma langgeng.
” Aku Sukma Wicara. Apa perlumu menghentikan perjalananku Sukma Langgeng?”, tanya Sukma Wicara.
” Aku telah menghadap dewa untuk meminta salinan Kitab Jitabsaraya. Kata dewa telah diserahkan kepadamu. Kini aku meminta kitab itu”, jawab Sukma Langgeng.
” Lho, seharusnya kamu meminta langsung kepada dewa”, jawab Sukma Wicara.
” Baiklah kalau tidak boleh diminta, aku minta salinannya saja”, kata Sukma Langgeng.
” Tidak bisa, ini hanya satu dan tidak boleh diperbanyak”, jawab Sukma Wicara.
” Atau begini saja, aku meminjam sebentar saja atau cukup diceritakan ringkasan isi Kitab Jitabsraya saja”, kata Sukma Langgeng.
” Tetap tidak boleh”, jawab Sukma Wicara.
” Diminta baik2 tidak boleh. Dipinjam tidak bisa. Apa perlu aku paksa?”, kata Sukma Langgeng.
” Silahkan kalau kamu mampu”, jawab Sukma Wicara.
Maka Sukma Langgeng berusaha merebut Kitab Jitabsraya itu. Sukma Wicara berkelit, sehingga tangan Sukma Langgeng menemnui ruang kosong. Sukma Langgeng merangsek kembali, Sukma Wicara menghindar. Maka tak lama terjadi perebutan Kitab Jitasraya. Selanjutnya terjadilah kejar-mengejar dan perang seru antara keduanya. Bersambung…………… (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR