Bermenung-Menjual Perlu Juga Membeli
Alkisah di sebuah pasar ada 100 orang penjual. Ada penjual : beras, nasi, camilan, sayuran, kelontong, buku, gas, minyak goreng, tukang panggul barang, tukang pijat, tukang cukur, dst. Misal, hari itu tak pembeli dari luar pasar datang beli dagangan mereka dan mereka semua juga tidak membawa uang.
Karena mereka rencananya akan belanja dari dari hasil penjualan barangnya. Apa yang terjadi? Semua dagangan di pasar itu tidak laku, karena semua orang tidak punya uang. Semua penjual itu rugi.
Coba kalau salah satu saja membawa uang, misalnya tukang nasi bawa uang lalu beli beras. Tukang beras jadi punya uang, lalu beli buku untuk anaknya. Penjual buku dapat uang lalu beli sayuran untuk dimasak siangnya. Begitu seterusnya, pedagang2 itu akan laku dagangannya. Semua untung, semua dapat yang diinginkannya.
Begitulah hidup bermasyarakat, harus saling member-menerima, beli dan jual, menonton dan ditonton. Kalau ada yang pentas ada yang nonton, bayangkan kalau ada tontonan berbiaya mahal tanpa penonton (misal sepak bola, band terkenal), ya hambar. Kalau ada stasiun radio tidak ada pendengarnya dan TV tidak ada penonton, koran tidak ada pembacanya. Semua jadi sepi, semua rugi.
Ini contoh lain, Bu Sabar kalau ke pertemuan atau arisan, dengan tetangga, dengan teman, sering pulangnya bawa oleh2, terutama makanan. Beli di mana? Ya di teman atau tentangga itu, kalau mereka ada yang jualan. Biar dagangan teman dan tetangga laku. Mendukung usaha kawan, begitu istilahnya.
Itu cerita kalau di dunia nyata, jika di dunia maya? Di dunia maya, di medsos demikian pula. Orang tidak perlu bisa dan mau menulis status saja, plus pengin dikomentari, sebaiknya perlu juga meng-apresiasi tulisan orang lain, memberi komen atau minimal mengacungkan jempol.
Nah, jika tulisan atau statusnya banyak yang memberi perhatian (komen, jempol, dsb), perlu juga memberi apresiasi. Kalau banyak yang ingin diberi apresiasi, cukuplah sekali menulis untuk semua orang atau minimal sekali2lah memberi tanggapan kepada orang banyak.
Saya sering menjumpai status (tulisan, gambar atau video) yang keren dari seseorang. Mungkin maksudnya biar pada takjub, pada komen, pada acung jempol. Namun tak seorangpun memberi tanggapan. Membaca juga tidak. Kenapa bisa?
Karena beliaunya juga “mahal” dalam mengapresiasi ke orang lain. Kalau ada orang membuat status lalu diberi tanggapan sekali, tiga kali sampai 17 kali tidak pernah direspon, yang memberi tanggapan kan ya bisa capek juga. Istilah anak mudanya :” Capek deh!”. Begitu.
Ada yang nulis terus dan tidak pernah/jarang baca tulisan orang lain. Buktinya, di grup medsos orang ramai2 fokus memberi doa dan dukungan ke seseorang karena ada yang sakit/meninggal dunia, eh beliaunya ngirim tulisan2/gambar2 yang sama sekali tak ada hubungannya dengan yang diramaikan itu (ada yang sakit atau meninggal). Kurang eloklah, istilahnya kurang punya empati, begitulah.
Tentu sebaliknya banyak juga yang rajin mengapresiasi tulisan, gambar dan atau video dari orang lain (dan mungkin jarang membuat “status”). Mereka ini termasuk “murah dan mudah” bersedekah di medsos. Saya kok yakin teman2 seperti ini akan murah rejeki, minimal selalu sehat dan wajahnya ceria, ujung2nya awet muda. Percayakah? Percayalah! Kata acara (rubrik) “believe it or not”.
Jadi, sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, seyogyanya kita memberi dan menerima. Jika ingin banyak2 menerima, lebih banyaklah memberi. Bila mau didoakan banyak orang, lebih banyaklah mendoakan orang lain. Itu berlaku di dunia nyata dan maya . (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR